Monday, March 05, 2007

When Jazz Meets Design

”Jazz is a feeling, more than anything else.”(Mark C Gridley)

Sebenarnya belumlah begitu lama saya mengenal jazz, sekitar 5 tahun saja, waktu yang sangat singkat, and I'm still learning how to enjoy that music. Untuk pemula seperti saya, banyak sekali hal yang ditawarkan jazz untuk membuat hidup saya lebih berwarna. Seperti menjumpai sebuah kehidupan yang sendu dan melankolis.
Sampai sekarang jazz masih dikenal eksklusif dengan gaya hidup middle up class (namun tidak bisa dipungkiri banyak usaha untuk membuat jazz lebih down to earth), karena adanya anggapan tidak semua orang bisa menikmati musik jenis ini.


Padahal ditilik dari sejarahnya, bukan cerita yang baru bahwa jazz justru hadir dari kalangan bawah, kalangan kulit hitam New Orleans. Jazz lahir dari kehidupan para Negro yang terbelenggu, terbatas haknya sebagai manusia biasa, (faktanya rasisme masih saja berlaku sampai sekarang), termasuk dalam hal mengekspresikan diri/emosinya (that's why we say that jazz is a feeling). Tetapi mungkin sebenarnya tidak ada hubungan antara suatu kalangan tertentu terhadap cara seseorang berekspresi. Dasarnya, untuk menikmati jazz, seseorang harus lebih peka/perasa, sensitive feeling, daya ekspresi seni tinggi (otak kanan lebih berperan), punya banyak pengalaman emosional, dan lebih mature. Untuk mengerti secara utuh, seorang penikmat jazz juga harus bisa memainkan suatu alat musik, jadi menikmati jazz cenderung membutuhkan waktu relatif lebih lama. Anda tidak bisa memahami dengan hanya mendengakannya sepotong-sepotong. Untun dapat menikmati jazz, Anda harus bersedia tenggelam di dalamnya. Kekuatan jazz bukan terletak pada lirik atau isi lagu, sama seperi musik klasik, ia berbicara lewat nada. Jika Anda penikmat jazz sejati, telinga (dan jiwa) Anda tentulah sangat akrab dengan Louis Amstrong, Miles Davis, Chick Corea atau Duke Ellington.

Namun akhir-akhir ini musik jazz telah bisa dinikmati oleh banyak orang, dengan hadirnya variasi jazz yang dikolaborasikan dengan musik etnik (pernah dengar Bintang dan Idang Rasyidi dalam Jazzy Duet, atau Syaharani dalam album What A Wonderful World), atau acid jazz, jenis jazz yang lebih kontemporer, dan memang jazz yang paling banyak penikmatnya adalah light jazz ; Incognito, Norah Jones, Diana Krall, etc. Kalangan muda dunia juga sudah mulai menikmati jazz yang diramu dengan lebih ringan.

Seno Gumira dalam novelnya Jazz, Parfum & Insiden (sudah 5 kali saya baca), menceritakan kehidupan malam yang kerap dihubungkan dengan musik jazz, musik malam, yang sampai saat ini masih kita temi di sebagian besar café di manapun. Detail sekali novel ini merunutkan sejarah musik dan kehidupan jazz. Memang untuk menikmati jazz, Anda membutuhkan waktu dan tempat yang khusus (identik dengan malam hari, sehabis hujan), waktu di mana Anda biasanya rileks.

Kehadiran cafe di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup unik pula, dan memang tak bisa terlepas dari sejarah kelahiran cafe-cafe di Perancis dulu. Cafe , bahasa Perancis dari kopi di negara asalnya ini merupakan tempat-tempat masyarakat Perancis menikmati sarapan atau rehat di sore hari, seperti pada budaya Inggris menikmati afternoon tea. Malah di Perancis, café merupakan media sosialisasi masyarakatnya. Cafe-cafe di Perancis juga terkenal telah melahirkan para pemikir besar seperti Sartre, Derrida dan Foucaoult. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya dan Denpasar telah terkenal dengan gaya hidup cafe-nya. Barangkali Anda pernah mengunjungi Maccaroni Club di Bali, Bakoel Koffee, The Coffee Bean di Jakarta juga sederetan cafe berdesign unik di sepanjang Kemang. Di Jogja sendiri, mungkin Anda dapat menikmati kopi dengan suasana yang cukup pas di Java Cafe atau Gadjah Wong (jazz session).

Di kehidupan modern, cafepun menjadi tempat di mana masyarakat kota melepas segala kepenatan. Simak saja kehidupan malam dalam sitcom Friends atau Ally McBeal . Central Perk dalam Friends menjadi tempat hang out para New Yorkers (of course including our friends Rachel, Monic, Phoebe, Chandler, Joey & Ross), setelah penat bekerja, kencan, bahkan pertemuan bisnis. Ally McBeal juga tak lupa menyempatkan diri di penghujung senja untuk menikmati secangkir kopi bersama rekan kerja (atau justru menyendiri) sambil asyik mendengarkan musik yang dialunkan Vondha Sephard. Terlepas dari siapa yang sedang jatuh cinta, siapa yang sedang patah hati, siapa yang sedang bingung, siapa yang sedang sedih, siapa yang sedang marah, semuanya berkumpul untuk melepaskan emosinya dengan secangkir kopi dan iringan musik yang santai.

Design grafis, sebagai ilmu yang di-support oleh banyak disiplin ilmu, meliputi seni, komunikasi, arsitek, psikologi, filsafat, budaya, bahasa, sains, politik dan entertain , maka Cafe + Coffee + Jazz = Design. Kemudian sayapun menympulkan demikian. Apabila Anda senang mengamati hal-hal kecil di sekeliling Anda, pasti Anda menjumpai cafe tempat Anda nongkrong didesain sedemikian rupa. Banyak tema yang diangkat untuk desain-desain tersebut yang diwujudkan dalam interior, desain gedung dengan bertema futuristic, black & white, fashion, art, etnik, dan sebagainya.

Begitu pula dengan kopi sebagai menu utama. Saya menyebutkan varian dan invasi resep juga sebagai sebuah desain. Setiap cafe pasti punya racikan tersendiri, jenis kopi sendiri, menu andalan sendiri. Saya pastikan Anda pernah mencicipi Blue Coffee, Fruit Mix Coffee, Macchiato, selain varian klasik hazelnut, mocha, cappuccino, espresso dan cafe latte. Penyajiannya pun tentu tidak biasa-biasa saja, mulai dari wadah yang digunakan, penataan racikan, sampai cara penyajian, belum lagi aksen-aksen hiasan yang menarik dan kreatif. Rasa saja belum cukup, ada elemen lain yaitu packaging dan how to serve it. Dunia kecil ini tentu saja semakin lengkap dengan hadirnya musik (biasanya jazz atau blues) yang mewarnai suasana café.

Setelah lelah berputar-putar ke sana ke mari, lalu apa hubungannya jazz dengan desain ? Terinspirasi dari kado pemberian teman dekat, terlintas beberapa desain cover kaset maupun CD kompilasi musik jazz yang sempat saya amati. Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari penampakan tersebut, yaitu classic design. Kenapa idiom yang digunakan untuk mewakili musik jazz ini justru desain yang klasik ? Bagaimana dengan musik klasik sendiri ? Cover desain Cafe Jazz Series, Jazz on Cinema, Smooth Jazz, Jazzy Tunes, Contempo Sound & Voice, Jazzy Duets, kemudian Fourplay, A Mild Acid Jazz, Cool Notes, Jazz Ballads , dll, semuanya menggunakan desain yang simple, soft & chic. Seolah image yang muncul bisa diterjemahkan bahwa musik yang disajikan dalam jazz itu smart and tidy. (Anda ingin tahu dress code jika ingin menonton jazz ? Kenakan pakaian terbaik Anda !). Padahal jazz itu intinya adalah improvisasi, tidak ada musik yang sama dalam permainan jazz. Karena itu pula pecinta jazz tidak bisa melewatkan satu even konser jazz favorit mereka, improvisasi tersebut tidak akan pernah dijumpai dalam konser atau record lainnya. Mood atau emosi jazzer yang berubah-ubah pada saat itu akan terpancar dari permainannya. Jazz juga adalah pembebasan diri. Pemusik jazz tidak lagi bermain di tataran cord-cord yang sudah ada, banyak pembelokan di sana sini, mengalir dan terus mengalir.

Sayangnya spirit ini tidak didukung oleh visualisasi yang cukup representatif. Ambil contoh Jazz Cafe Series ; Cappucino, Latte, Mocha dan Espresso. Cover berupa foto secangkir kopi (tergantung jenisnya) dengan nuansa coklat untuk cappuccino, dominan putih untuk latte dan seterusnya, yang diambil dengan soft focus. Foto-foto tersebut sungguh memberikan kesan sweet dan classic. Suasana cafe yang benar-benar nyaman dan santai, dengan interior bergaya modern dan simple. Untuk koleksi Smooth Jazz, desain silhouette seorang penari (tidak jelas balet, salsa, dance atau asereje) dengan berbagai pose. That’s all. Fourplay, foto black and white sebuah botol (ingatan kita langsung tertuju pada iklan-iklan Absolute Vodka) berjudulkan Fourplay. Masih dengan desain yang klasik, pada cover Jazz on Cinema, satu-satunya yang menghubungkan sinema dengan visualisasinya adalah clapper horizontal di sisi atas dan bawah. Pada cover Cool Notes yang merupakan kumpulan pop jazz hanya berupa gambar photo paint sebuah hydrant pemadam kebakaran (apa hubungannya ya ?) dengan efek pencil colouring. Album Mezzoforte, sebuah kursi putih mulus (desain Vitra atau Flo) dengan background kuning terang benderang. Umumnya pada desain terdapat gambar saxophone sebagai ikon jazz, lain kata desain pasarannya adalah gambar saxophone dijadikan huruf J dalam tulisan Jazz.

Dalam Jazz Chillout, agak sedikit berbeda, seorang pria muda atau wanita muda sedang tertawa dengan gayanya yang cukup funky, lengkap dengan earphone. Tergelitik untuk tahu jenis jazz apa yang disuguhkan, sayapun menelusuri daftar lagu, dan pada akhirnya mengernyitkan dahi. Masih penasaran dengan kesimpulan sementara, saya coba mendengarkan, kemudian sempurnalah kesimpulan saya. Tadinya saya pikir Jazz Chillout menawarkan suatu konse yang berbeda, ternyata kontradiksi ; lagu-lagu yang disusun adalah lagu-lagu old jazz (and you know what ? it’s very-very slow !) Atau mungkin sebenanya konsepnya adalah kontradiksi ? Memang ada banyak hal dibalik penciptaan sebuah desain album jazz. Bisa saja proses itu memang sangat subjektif, karena dalam sebuah album kompilasi, pemusik tidak lagi berurusan dengan panyajian. Bisa saja imej dan imajinasi sang desainer tentang jazz yang pada akhirnya menonjol, dan tentu saja ada kepentingan komersil, how to sell it. Lain halnya dengan album jazz solo, pemusik bisa lebih banyak turun tangan menciptakan konsep, karena desain itu akan mewakili citra dirinya, atau mewakili konsep musik yang dia tawarkan (walaupun kebanyakan menampilkan foto diri mereka saja).

Kesimpulan yang bisa dipetik dari sedikit corat-coret di atas ini mungkin adalah perlu pemahaman yang lebih mendalam untuk mengerti dan memahami jazz, kemudian menuangkannya ke dalam sebuah desain, yang mewakili spirit atau jiwa jazz itu sendiri. Sebuah usaha yang tidak gampang, karena Anda harus membuka diri dan hati Anda selebar mungkin, melelehkan diri kedalamnya. And until now … I’m still learning how to fly … fly away with jazz …


*for Blank, a Jogjakarta graphic design magazine ...

No comments: