Wednesday, December 31, 2008

Selamat Tahun Baru 2009, selalu ada harapan bagi jiwa yang optimis


Foto oleh: Toto Santiko Budi

5 Oktober 2006 - Penjahit vermak jins, Rolies (20 th), berpose di kios kontrakannya di kawasan Tebet Jakarta Selatan. Ia hanya sempat mengenyam dunia pendidikan sampai di tingkat STM (Sekolah Teknik Menengah) selama satu semester. Hampir empat tahun ia merantau di Jakarta dari kampung halamannya di Lampung. Rolies mengikuti jejak kakaknya yang telah berangkat lebih dahulu ke Jakarta tahun 2000 lalu dengan profesi yang sama.

Mungkin kita tidak asing dengan profesi penjahit vermak jins, walau terdengar sepele, sebenarnya ia adalah sang penyelamat penampilan. Memotong celana yang kepanjangan, mengganti resliting, memasang kancing, menisik dan menambal pakaian yang robek, mengecilkan rok, membongkar jahitan adalah sebagian dari pekerjaannya.

Rasanya kita bisa berkaca pada Rolies, yang telah menciptakan lapangan pekerjaan dan juga menyerap tenaga kerja. Usaha-usaha kecil seperti ini terbukti mampu bertahan terhadap krisis ekonomi.

Menurut Harian Bisnis Indonesia, selama tahun 1997-2006, jumlah perusahaan berskala UKM mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia. Sumbangan UKM terhadap produk domestik bruto mencapai 54%-57%. Sumbangan UKM terhadap penyerapan tenaga kerja sekitar 96%.

Sunday, September 28, 2008

Minal Aidin wal Faidzin ...



© Toto Santiko Budi



Lebaran penuh kemenangan
Buah kesabaran dan keikhlasan
Rayakan kemenangan dengan berbagi
Senantiasa bersyukur pada Sang Pemberi

Menyambut hari yang fitri, izinkan kami menghaturkan
Taqobbalallahu minnawaminkum

Selamat Idul Fitri 1429 H, Mohon maaf lahir dan batin

Wassalamualaikum,

Sri Dewi Susanty & Kel

Sunday, August 31, 2008

Museum Wayang Indonesia, Museum Mahakarya Nusantara

Teks Oleh: Sri Dewi Susanty

Foto Oleh: Toto Santiko Budi

“Wayang adalah bayang-bayang kehidupan, karena dia merupakan lambang penokohan sosok-sosok manusia ”

Didik, pemandu Museum Wayang

Dengan berbekal dua tiket gratis dari Starbucks Coffee Museum Campaign, pada suatu siang saya dan rekan menuju Kota Tua dengan Busway koridor I menuju Museum Wayang. Terletak tak jauh dari Terminal Busway atau Stasiun Kota, Museum Wayang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 200 meter ,atau jika Anda ingin menambah kesan seperti turis di negeri sendiri, bisa menggunakan jasa ojeg sepeda dari depan Museum Bank Mandiri.

Ketika memasuki wilayah Kota Tua (Batavia), suasana terasa berbeda. Beberapa mahasiswa tampak sedang asyik melukis, cameramen dan fotografer sedang sibuk mengeset perlengkapan mereka sementara seorang model tampak siap difoto dengan berlatar belakang gedung-gedung tua dan dua orang asing yang tengah memasuki gedung Museum Wayang.

Walaupun telah berusia puluhan tahun dan merupakan peninggalan Belanda, gedung Museum Wayang masih terlihat kokoh, berkesan kuno dan memiliki keunikan tersendiri. Setelah mengisi buku tamu, kami diarahkan ke lantai dua, di mana ribuan koleksi wayang disusun. Namun karena sedikitnya petunjuk dan informasi mengenai wayang-wayang tersebut, kami memutuskan menggunakan jasa pemandu.

Koleksi
Museum Wayang Indonesia (Jakarta) memiliki sekitar 5000 koleksi wayang dari berbagai daerah di Indonesia juga mancanegara. Beberapa jenis wayang nusantara yang ditampilkan seperti Wayang Kulit, Wayang Golek, Patung, Topeng dan Lukisan Wayang, juga Boneka berasal dari Cirebon, Yogyakarta, Bali, Sumatera, Betawi, Bogor bahkan Banjar. Sementara koleksi dari mancanegara berupa wayang dan boneka dari Malaysia, Thailand, China, Suriname, India dan beberapa Negara lainnya.


Salah satu koleksi Museum Wayang yang merupakan karya masterpiece adalah Wayang Intan yang berasal dari Yogyakarta. Koleksi wayang yang berhiaskan intan imitasi ini tampak anggun dengan dominasi warna hitam. Wayang Intan ini diperkirakan dibuat sekitar abad 17 atau 18 di Muntilan Jawa Tengah. Merupakan pesanan saudagar kaya Tionghoa yang ingin menghibur karyawan pabriknya dengan pagelaran wayang kulit. Supaya lebih menarik, wayang tersebut ditaburi intan sehingga tampak berkilauan ketika dimainkan.

Selain Wayang Intan ada pula Wayang Revolusi yang merupakan koleksi berlatar cerita sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajah selama 350 tahun. Wayang ini menampilkan tokoh seperti Soekarno, Hatta, RA Kartini dan Pangeran Diponegoro. Koleksi Wayang Revolusi merupakan “pinjaman” dari World Museum Rotterdam Belanda yang dikembalikan pada tahun 2005, setelah sebelumnya dibeli dari Solo sekitar tahun 1960-an.

Sebagian koleksi wayang di museum ini diperoleh dengan membeli dari kolektor, berstatus dipinjamkan dengan waktu yang tidak terbatas, hadiah dan ada juga yang berupa hibah/sumbangan. Sayangnya, tidak semua koleksi wayang bisa ditampilkan di museum ini karena keterbatasan ruangan. Sebagian koleksi wayang disimpan di kotak-kotak kayu dengan perawatan khusus agar tidak rusak dan dipamerkan pada acara-acara khusus seperti pagelaran maupun pameran.

Museum Wayang juga dilengkapi dengan koleksi topeng, boneka, lukisan, lampu minyak, catur wayang, gamelan dan contoh peralatan membuat wayang. Setelah melewati koleksi wayang, kita akan melewati sebuah lorong berisi topeng-topeng wayang yang disusun dengan sangat menarik. Anda juga tentunya masih ingat dengan Boneka Si Unyil yang terkenal pada tahun 1980-an? Nah, boneka pertama tokoh-tokoh dalam lakon Si Unyil tersebut juga disimpan di sini. Selain Si Unyil, terdapat pula boneka Si Gale-Gale yang berasal dari daerah Batak, pertunjukan boneka dari Perancis, Amerika maupun Inggris.


Filosofi Wayang


Selain dari bentuknya yang unik, hal yang sangat menarik dari dunia wayang adalah filosofi kehidupan. Penokohan dan alur cerita wayang sebagian besar bersumber dari naskah Ramayana dan Mahabarata, juga merupakan kisah kerajaan-kerajaan besar dari berbagai wilayah Nusantara. Namun dengan kreatifitas sang dalang, juga dapat diciptakan cerita-cerita baru yang lebih menarik seperti wayang kancil yang merupakan kisah fabel ataupun tokoh-tokoh gubahan lainnya.

Seperti halnya manusia, wayang merupakan bayang-bayang kehidupan, di mana terdapat tokoh protagonis dan antagonis (pandawa dan korawa dalam epos Mahabarata). Banyak karakter dan filosofi tentang kebaikan, pengorbanan, kesetiaan, keprajuritan, kepercayaan dan masih banyak lainnya yang bisa kita ambil dari kisah-kisah pewayangan. Karena merupakan teater rakyat yang sangat populer, wayang juga digunakan sebagai media untuk menyebarkan agama seperti yang digunakan para wali untuk menyebarkan agama Islam, maupun yang digunakan para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen. Anda dapat melihat koleksi wayang tersebut di museum ini.

Tahun 2003, UNESCO memberikan penghargaan kepada Wayang Indonesia sebagai karya mengagumkan dalam cerita narasi dan merupakan warisan budaya yang sangat berharga (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).


Pagelaran Wayang
Kampanye museum kerjasama antara Starbucks Coffee Indonesia dan Museum Wayang kali ini juga memberikan kesempatan pada saya dan rekan untuk mendapatkan pengalaman belajar bermain gamelan. Namun karena keterbatasan waktu dan kesiapan pemandu, saya hanya sempat diperkenalkan dengan beberapa jenis alat musik pengiring wayang dan mencoba teknik memukul gamelan. Jika Anda datang berkelompok, baiknya lakukan reservasi terlebih dahulu dan siapkan tips untuk pengajar.

Secara berkala, Museum Wayang juga mengadakan pagelaran yang dapat Anda nikmati pada

setiap Minggu kedua, ketiga dan keempat setiap bulan, dari jam 10.00 – 14.00 WIB. Namun ada kalanya diadakan acara-acara khusus seperti Pagelaran dan Pameran Wayang Kulit Revolusi, dan partisipasi Museum Wayang pada acara Batavia Art Festival di bulan Agustus ini.

Prasasti
Setelah Anda puas dengan koleksi wayang, di bagian lantai bawah bagian belakang museum ini terdapat prasasti yang terpampang di bagian dindingnya. Konon, bagian ini merupakan bagian yang masih tersisa dari bekas gereja yang merupakan bangunan terdahulu.

Pada awal didirikan pada tahun 1640, gedung ini merupakan gereja yang bernama De Oude Hollandse Kerk, kemudian pada tahun 1732 diperbaiki dan berganti nama menjadi De Niewe Hollandse Kerk. Halaman samping gereja dimanfaatkan sebagai makam, antara lain makam gubernur jenderal, pejabat tinggi VOC serta keluarga mereka. Kemudian makam itu dipindahkan ke taman makam khusus di Jalan Tanah Abang I, Jakarta, yang kini menjadi Museum Taman Prasasti.

Pada tahun 1808, gedung tersebut hancur oleh gempa bumi, dan di atas tanah bekas reruntuhan inilah dibangun gedung yang akhirnya dipergunakan untuk Museum Wayang. Museum Wayang ini kemudian diresmikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tanggal 13 Agustus 1975.

Tahun 2003, Museum Wayang mendapatkan hibah sebuah gedung yang berada bertepatan di sebelahnya dari Probosutejo untuk digunakan sebagai perpustakaan dan penempatan koleksi wayang yang selama ini disimpan.

Semoga saja banyak pihak lain yang juga tertarik melestarikan warisan budaya berharga ini, termasuk mendukung dana pengembangan, pengelolaan maupun kerjasama promosi.


Souvenir
Sebelum meninggalkan museum, ada baiknya tak lupa mampir terlebih dahulu melihat koleksi cindera mata karya pengrajin kulit. Mulai dari pembatas buku, wayang kulit dan golek dalam berbagai ukuran sampai miniatur seperangkat alat music pengiring pertunjukan wayang. Sangat menarik untuk dijadikan pajangan ataupun sebagai pemberian untuk tamu atau teman Anda. Karena lumayan mahal (dan bagus), cukuplah bagi saya mengoleksi pembatas buku Rama-Sinta


Starbucks Coffee Museum Campaign

Starbucks Coffee Indonesia memberikan tiket gratis kepada pelanggan untuk dapat berkunjung ke lima museum terbesar di Indonesia, yaitu Museum Nasional, Museum Sejarah Jakarta, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Wayang, dan Museum Tekstil. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kecintaan publik terhadap peninggalan budaya bangsa dan membantu mempromosikan keberadaan museum-museum di Jakarta sebagai pusat sejarah, budaya, dan edukasi. Selain tiket gratis, pelanggan juga mendapatkan fasilitas tambahan seperti pengalaman belajar seni membatik, bermain gamelan, ataupun souvenir secara cuma-cuma. Program ini berlangsung dari 15 Juli – 15 Agustus 2008.

Untuk informasi selanjutnya bisa dilihat di www.starbucks.co.id


Alamat:

Museum Wayang
Jln. Pintu Besar Utara No. 27 Jakarta Barat 11110
Tel. 021 692 9560 Fax. 021 692 9560


Jam Buka:

Selasa-Kamis, & Minggu 09.00 – 15.00
Jum’at 09.00 – 16.30
Sabtu 09.00 – 14.30
Senin & Hari Libur Nasional Tutup

Tiket:

Dewasa : Rp. 2.000
Mahasiswa : Rp. 1.000
Anak-anak/Pelajar : Rp. 600

Grup (minimal 20 orang)
Dewasa : Rp. 1.500
Mahasiswa : Rp. 750
Anak-anak : Rp. 500


Jasa Pemandu:

Bahasa Indonesia : Rp. 30.000
Bahasa Inggris : Rp. 50.000



*Untuk Majalah Chic, No 24, 19 Nov - 3 Des 2008

Selamat Berpuasa, Minal Aidin Wal Faidzin



Assalamualaikum,

Kerinduan membuncah di ambang Ramadhan
Saatnya menjemput bulan penuh ampunan
Mari bercermin diri, sujudkan hati
Entaskan rasa syukur pada Illahi

Selamat menunaikan ibadah puasa,
mohon maaf lahir dan batin


Wassalam,
Sri Dewi Susanty & Kel
© Totography by Toto Santiko Budi







Totography

Assignment & Stocks
Jln. Rasamala II no 16, Menteng Dalam
Tebet – Jakarta Selatan 12870
t : 021-96141664
m : 0852 847 735 81
e : sdsusanty@gmail.com
w : http://totopicture.smugmug.com, http://sridewisusanty.blogspot.com

Thursday, October 25, 2007

Kesetiaan pada Sejarah


Usia Abdul Gani memang sudah cukup tua, 76 tahun, namun masih memiliki ingatan yang cukup tajam. Sambil sesekali bercanda, ia menjelaskan isi dari beberapa buku yang ia jual di kios 147 pasar barang antik di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Perawakannya kecil dan seluruh rambutnya telah memutih. Tampak penjual sekitar menaruh hormat dan segan padanya. Ini juga dikarenakan Abdul Gani adalah orang tertua dan paling lama berjualan di pasar tersebut.

Dalam usianya itu Abdul Gani tidak memutuskan untuk pensiun dan menikmati hari tua, namun tetap setia menjalankan bisnis kamera antik dan buku-buku tua, yang sudah digelutinya sejak tahun 1974. Toko Abdul Gani adalah satu-satunya toko yang menjual buku-buku langka di pasar barang antik Jalan Surabaya. “Sukarno in Autobiography as told by Cindy Adams” (1965), “Di Bawah Bendera Revolusi” jilid 1 (1963) dan “Di Bawah Bendera Revolusi” jilid 2 (1964) adalah sebagian dari buku sejarah legendaris koleksinya.

Kecintaan Abdul Gani terhadap buku dimulai sejak tahun 1955, ketika pindah ke Jakarta dari kota kelahirannya Tangerang untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Teknik Pertama (setara dengan SMP). Buku-buku dongeng, sejarah, ilmu bumi dan bahasa daerah adalah jenis buku yang dia baca pada waktu itu. “Sejarah Tanah Jawa” dan, “Tarich Atjeh dan Nusantara” merupakan dua dari sekian buku favoritnya.

Satu kertas yang lapuk, mungkin bisa menyelamatkan sebuah negeri”, demikian nasehatnya. Pernyataan itu pula yang menjadi alasan kenapa dia gemar mengoleksi buku-buku langka. Buku-buku yang dijual di tokonya memang bervariasi dan kuno, seperti buku sejarah dan kebudayaan Jawa, sastra Jawa, sejarah Indonesia, pahlawan daerah, dan masih banyak lainnya. Untuk buku-buku hukum, buku koleksinya merupakan terbitan mulai tahun 1849 sampai 1920-an dan kebanyakan berbahasa Belanda. Sebisa mungkin dia hanya menerima buku-buku di bawah tahun 1950 dari pemasok buku. Tapi tak jarang dia menerima pasokan buku “baru” karena kasihan dan ingin membantu sesama penjual. Dengan sedikit berbisik ia mengatakan “Kasian kalau tidak dibeli, saling bantu lah,” sambil menerima beberapa buah majalah dan menyelipkan sejumlah uang ke kantong seorang lelaki tua yang datang mengendarai sepeda ontel.

Ketekunan Abdul Gani mengumpulkan buku-buku lawas dan langka membuat lelaki beranak sepuluh ini cukup dikenal oleh masyarakat; wartawan dan mahasiswa pernah datang untuk mencari ide atau mencari data untuk tulisan mereka, koleksi buku-bukunya pun pernah menjadi latar belakang syuting sebuah film berjudul Lentera Merah. Museum Fatahillah juga pernah menyewa 400 buku koleksi Abdul Gani untuk keperluan syuting film.

Ketika ditanya mengenai pelanggan, Abdul Gani menceritakan bahwa dia sangat senang sekali jika pembeli buku-bukunya adalah orang Indonesia, bukan bule. “Kalau yang membeli buku-buku Bapak adalah orang Indonesia, Bapak senang sekali karena mereka masih perduli dengan sejarah bangsa sendiri. Bapak tak heran jika yang mendatangi atau membeli buku Bapak orang bule, Bapak tahu mereka memang kagum dengan sejarah dan kebudayaan kita sejak dulu. Menurutnya, sejumlah pelanggan berkewarganegaraan Malaysia, Thailand, Korea, Amerika, Perancis dan Belanda sering mencari buku lawas di tokonya.

Seorang reporter dari sebuah stasiun televisi swasta pernah menanyakan kenapa dia tidak menyumbangkan saja buku-buku tersebut untuk perpustakaan nasional. Lelaki sederhana ini pun menjawab "Bapak tidak yakin buku-buku tersebut dijaga. Bisa hilang. Banyak kejadian begitu, kan?"

Kesetiaan Abdul Gani terhadap sejarah tak sebatas pada koleksi buku-buku tua yang dijualnya. Ia juga memiliki koleksi foto-foto Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, foto pahlawan, dan juga gemar filateli. Dua buah peta Batavia yang dibuat pada tahun 1750 dan 1790 yang dimilikinya jelas merupakan peninggalan sejarah berharga. Prinsipnya, jika ia hanya memiliki satu buah saja untuk satu judul buku, ia memilih untuk menyimpannya dalam perpustakaan pribadi di rumahnya.

“Sejarawan” seperti Abdul Gani memang merupakan “sejarah tersendiri” di antara sekian juta rakyat Indonesia, yang sepertinya semakin tidak perduli lagi dengan sejarah dan identitas bangsa, terutama generasi muda yang kian tenggelam dalam keduniawian. Sebagai “rakyat biasa”, kesetiaannya pada sejarah patut diteladani.

Satu hal yang menjadi kekhawatirannya, tak ada satupun dari anaknya yang memiliki kecintaan terhadap buku dan sejarah seperti dirinya. Wajahnya tampak sedikit murung ketika ia menjelaskan kekhawatirannya itu. Satu-satunya harapan terletak pada anak bungsunya, Suhada, yang masih kuliah di sebuah sekolah tinggi seni di Bandung. Dalam kesehariannya menjaga toko, Abdul Gani dibantu seorang keponakan.

Buat Bapak, walau sudah tua tapi jika masih berguna buat orang lain, Bapak tidak mau diam saja di rumah,” ujarnya dengan senyum yang kembali mengembang.

Teks oleh: Sri Dewi Susanty
Foto oleh: Toto Santiko Budi

(http://totopicture.smugmug.com/gallery/3301108#183430683)

Wednesday, August 15, 2007

Travelogue: Kanise, Tersibaknya sebuah Warisan Budaya Dunia




Awalnya saya beringsut-ingsut ketika atasan tanpa konfirmasi mengganti jadwal kunjungan lapangan saya dipercepat 3 hari dan menjadi lebih lama dari rencana sebelumnya. Siapa yang betah berlama-lama tinggal di daerah terpencil di mana listrik, air dan sinyal HP dalam keadaan hidup segan mati tak mau. Namun, ketika saya coba untuk menikmatinya dengan berlagak turis, suasana hati menjadi menyenangkan.

Setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih 1,5 jam dari Banda Aceh menuju Gunung Sitoli melalui Meulaboh, dan 3 jam perjalanan dengan mobil, sampailah saya dan rekan kerja ke Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan (Kanise). Bosan beristirahat di hotel selama 1 jam, sayapun menerima ajakan rekan kerja menikmati pantai Sorake yang terkenal sebagai surga surfing dunia. Langit pantai Sorake memang biru jernih dengan sinar mataharinya yang cukup ramah di kulit, namun sayang, sejak gempa beberapa tahun silam, telah menyebabkan naiknya permukaan daratan dan pantai pun menjadi jauh menjorok ke dalam.

Hanya terlihat dua orang asing yang sedang berjalan kaki, losmen dan cottage yang sepi, seorang penjual barang kerajinan yang menyusuri pantai mencoba menemukan calon pembeli, dan pembuat perahu dayung yang sedang mengerjakan pesanan perahu bantuan dari sebuah LSM internasional.

Karena tidak bisa menikmati sunset di pantai ini, kamipun beranjak pulang dan memutuskan untuk menghabiskan sore di sebuah Kampung Megalitikum bernama Botohili. Karena terletak di dataran tinggi, jalan menuju kampung ini melewati beberapa tanjakan dan berakhir di sebuah susunan anak tangga batu tua, yang di sisi kiri dan kanannya terdapat hiasan patung naga khas budaya Nias. Sama layaknya dengan masyarakat lain yang sedikit merasa “terganggu” dengan kedatangan sesuatu yang asing, masyarakat di kampung inipun demikian. Namun Anda akan mendapatkan senyuman yang lebar dan sambutan yang tulus, ketika kebekuan itu Anda cairkan dengan ucapan “Yaahowu” yang berarti “Salam”, sama seperti “Horas” pada suku Batak dan “Assalamualaikum” pada umat muslim.

Pemandangan yang tersibak di balik anak tangga terakhir sungguh luar biasa. Sebuah perkampungan dengan susunan rumah-rumah adat Nias Selatan di sepanjang kiri dan kanan, kira-kira sebanyak 100-150 rumah. Rumah-rumah panggung ini terbuat dari kayu, dengan tiang pancang di bawahnya yang berbentuk silang, dirancang sebagai penahan gempa dan tak satupun dari bangunan-bangunan kayu ini menggunakan paku! Karena merupakan pulau rawan gempa, sejak dulu masyarakat Nias telah berfikiran maju untuk merancang konstruksi rumah yang tahan terhadap gempa. Itulah sebabnya pula gempa tahun 2005 silam “hanya berhasil” merusak kontruksi bangunan atau gedung modern.



Suasana perkampungan tampak damai, dengan anak-anak yang sibuk bermain, berolah raga, mengambil air dari sumber air, ibu-ibu yang sibuk dengan jemuran pakaiannya, bapak-bapak yang berkumpul di balai-balai, seorang pemuda yang ramah (dan juga mengejutkan dengan melakukan atraksi lompat batu dengan spontanitas) menjelaskan tentang kampungnya dan pemandangan pantai yang dapat Anda nikmati dengan indah dari atas bukit tersebut. Sayapun sempat berpose bersama anak-anak Nias yang lincah namun tampak malu-malu (dan sangat senang) untuk difoto.

Teluk Dalam hanya merupakan sebuah kota kecil dan akan habis Anda lalui dalam waktu 15 menit saja. Namun sungguh, Kanise menyimpan banyak sekali warisan budaya tradisional yang sangat penting untuk dilestarikan. Badan Pendidikan dan Budaya Dunia UNESCO telah menetapkan satu-satunya rumah adat bangsawan Nias Selatan yang masih tersisa di Bawomataluo sebagai warisan budaya dunia.

Dan … Anda tidak akan menyesal telah menyempatkan diri ke sana!

Friday, July 06, 2007

Walk the World, Fight Hunger!

Tanggal 13 Mei 2007 lalu, seluruh dunia berjalan kaki sebagai aksi “Perangi Kelaparan”. Bangladesh, Vietnam, Trinidad, Qatar, Malaysia, Indonesia, Amerika adalah sekian negara dari 100 negara yang turut beraksi dan dilakukan serentak di seluruh dunia. Di Indonesia, aksi Perangi Kelaparan ini dilakukan di Jakarta, Surabaya dan Banda Aceh. Fight Hunger yang dimulai sejak tahun 2003 ini adalah salah satu program dari Badan Pangan Dunia (World Food Program) ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kepada masyarakat bahwa ada sekitar 400 juta anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia, menggalang dana untuk kelangsungan pemberian nutrisi dan makanan tambahan bergizi kepada anak-anak miskin dan kelaparan di seluruh dunia, juga untuk mengakhiri kelaparan pada anak yang ditargetkan pada tahun 2015.

Di Aceh dan Nias, pengumpulan donasi melalui acara ini akan disumbangkan untuk program School Feeding di 1.750 sekolah di 9 propinsi. Dengan berdonasi Rp. 30.000 – 50.000 siapa saja yang tertarik dengan kampanye ini bisa turut serta menyumbang pembelian biskuit bergizi untuk anak-anak sekolah.

Walk the World di Banda Aceh dibuka oleh Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal dan sebanyak 3500 peserta berjalan kaki sepanjang 5 km untuk mengkampanyekan kesadaran akan kelaparan anak. Selain kegiatan jalan bersama, digelar juga pameran tentang kegiatan WFP, kampanye melalui radio dan hiburan tarian tradisional dan musik. Acara ditutup oleh panggung akustik Rio Febrian yang berhasil mengobati masyarakat Aceh yang “haus” akan hiburan.

Semoga kampanye ini bisa meningkatkan kesadaran akan bahaya kelaparan pada anak sebagai generasi penerus bangsa dan banyaknya kasus gizi buruk di Indonesia dapat kita tanggulangi bersama.


Teks oleh: Sri Dewi Susanty
Foto oleh: Agus Samosir

Thursday, May 03, 2007

a Child's Eye; Dengar Apa yang Tak Mereka Katakan


Rosmawati, 13 thn, Al-Hidayah, Lhoseumawe.

“Ini teman saya yang sedang menyapu di lantai. Dia sangat suka menyapu. Kalau dia liat lantainya kotor, dia langsung menyapu. Dia tidak suka lantainya kotor. Nama dia Nurhayati.”

Panggung kehidupan yang tertangkap mata kamera di atas diabadikan oleh mata seorang anak penghuni panti asuhan Al-Hidayah. Hal yang dia potret sederhana, kehidupan sehari-hari di panti asuhan, namun berhasil dia visualisasikan dengan menyentuh.

Sebanyak sekitar 150 foto yang diambil oleh 60 anak dan remaja panti asuhan di tiga kabupaten di propinsi NAD – Banda Aceh, Pidie dan Lhokseumawe – dipamerkan di Museum Aceh, Banda Aceh (2-4 Mei 2007). Pameran ini merupakan program tahunan a Child’s Eye dari Save the Children untuk program Aceh dan dalam jadwal akan dipamerkan juga di Pidie (9-11 Mei 2007) dan Lhokseumawe (16-18 Mei 2007).

Ke-60 anak tersebut diberi pelatihan fotografi selama 1,5 bulan dengan metode yang mengutamakan keterlibatan anak-anak dalam proses pengajaran, seperti mempelajari teknik pemotretan dasar melalui permainan, diskusi, bertukar pikiran dan perhatian khusus pada perorangan untuk membantu fotografer muda tersebut mengembangkan ide dan narasi, menentukan dan mendiskusikan foto-foto mana yang menjadi favorit mereka untuk dipamerkan. Anak-anak tersebut juga telah merundingkan siapa yang akan berangkat ke Jakarta sebagai perwakilan untuk menampilkan karya fotografi mereka pada tanggal 14-22 Juni 2007 mendatang di Hotel Grand Melia Kuningan Jakarta.
Melalui program ini diharapkan anak-anak panti asuhan tersebut memiliki kepercayaan diri dalam mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan, yang salah satunya diungkapkan secara kreatif melalui media visual fotografi. Pameran foto ini juga berupaya memberikan kesadaran kepada masyarakat, media, lembaga-lembaga akan hak-hak anak yang tertuang dalam Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak.


Banyak hal yang ingin diceritakan oleh anak-anak tersebut dalam karya mereka. Tentang cita-cita teman dekat, tentang perkelahian, pengalaman dipotret, doa dan harapan, keadaan lingkungan, pertemanan, keceriaan masa remaja, kebersamaan, kenakalan, keisengan, keluguan dan berbagai potret kehidupan dalam sudut pandang anak-anak.

Bahwa anak-anak memiliki hak untuk mengutarakan apa yang mereka pikir seharusnya terjadi ketika orang-orang dewasa membuat keputusan-keputusan yang berdampak pada mereka. Orang-orang dewasa memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan sebaik-baiknya pendapat-pendapat anak (pasal 12, Kovensi Hak Anak).


Teks oleh : Sri Dewi Susanty
Foto oleh : dokumentasi a Child’s Eye (Rosmawati, Maulisa, Marzuki)

*untuk Koran Tempo, 27 Mei 2007