Thursday, May 03, 2007

a Child's Eye; Dengar Apa yang Tak Mereka Katakan


Rosmawati, 13 thn, Al-Hidayah, Lhoseumawe.

“Ini teman saya yang sedang menyapu di lantai. Dia sangat suka menyapu. Kalau dia liat lantainya kotor, dia langsung menyapu. Dia tidak suka lantainya kotor. Nama dia Nurhayati.”

Panggung kehidupan yang tertangkap mata kamera di atas diabadikan oleh mata seorang anak penghuni panti asuhan Al-Hidayah. Hal yang dia potret sederhana, kehidupan sehari-hari di panti asuhan, namun berhasil dia visualisasikan dengan menyentuh.

Sebanyak sekitar 150 foto yang diambil oleh 60 anak dan remaja panti asuhan di tiga kabupaten di propinsi NAD – Banda Aceh, Pidie dan Lhokseumawe – dipamerkan di Museum Aceh, Banda Aceh (2-4 Mei 2007). Pameran ini merupakan program tahunan a Child’s Eye dari Save the Children untuk program Aceh dan dalam jadwal akan dipamerkan juga di Pidie (9-11 Mei 2007) dan Lhokseumawe (16-18 Mei 2007).

Ke-60 anak tersebut diberi pelatihan fotografi selama 1,5 bulan dengan metode yang mengutamakan keterlibatan anak-anak dalam proses pengajaran, seperti mempelajari teknik pemotretan dasar melalui permainan, diskusi, bertukar pikiran dan perhatian khusus pada perorangan untuk membantu fotografer muda tersebut mengembangkan ide dan narasi, menentukan dan mendiskusikan foto-foto mana yang menjadi favorit mereka untuk dipamerkan. Anak-anak tersebut juga telah merundingkan siapa yang akan berangkat ke Jakarta sebagai perwakilan untuk menampilkan karya fotografi mereka pada tanggal 14-22 Juni 2007 mendatang di Hotel Grand Melia Kuningan Jakarta.
Melalui program ini diharapkan anak-anak panti asuhan tersebut memiliki kepercayaan diri dalam mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan, yang salah satunya diungkapkan secara kreatif melalui media visual fotografi. Pameran foto ini juga berupaya memberikan kesadaran kepada masyarakat, media, lembaga-lembaga akan hak-hak anak yang tertuang dalam Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak.


Banyak hal yang ingin diceritakan oleh anak-anak tersebut dalam karya mereka. Tentang cita-cita teman dekat, tentang perkelahian, pengalaman dipotret, doa dan harapan, keadaan lingkungan, pertemanan, keceriaan masa remaja, kebersamaan, kenakalan, keisengan, keluguan dan berbagai potret kehidupan dalam sudut pandang anak-anak.

Bahwa anak-anak memiliki hak untuk mengutarakan apa yang mereka pikir seharusnya terjadi ketika orang-orang dewasa membuat keputusan-keputusan yang berdampak pada mereka. Orang-orang dewasa memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan sebaik-baiknya pendapat-pendapat anak (pasal 12, Kovensi Hak Anak).


Teks oleh : Sri Dewi Susanty
Foto oleh : dokumentasi a Child’s Eye (Rosmawati, Maulisa, Marzuki)

*untuk Koran Tempo, 27 Mei 2007

Tuesday, May 01, 2007

ETESP-24 Rider; Bersepeda-wisata di Negeri Serambi Mekah


Bekerja di perantauan memang kerap membuat para pelakonnya menjadi kreatif untuk melakukan kegiatan sebagai pembunuh waktu dan pelepas kejenuhan. Salah satunya adalah dengan bersepeda. Mulai dari keinginan berhemat dalam transportasi sehari-hari, kemudian berlanjut memperkenalkan gaya hidup “bike to work”, sampai pada akhirnya tercetus ide untuk mendirikan sebuah komunitas sepeda.


ETESP-24 Rider adalah sebuah komunitas bersepeda yang didirikan oleh para konsultan yang sedang bekerja pada salah satu proyek bantuan untuk Aceh dari sebuah lembaga donor Asia di Banda Aceh. Selama bertugas di negeri Serambi Mekah ini, mereka mencoba memanfaatkan waktu luang dan mengeksplorasi keindahan alam Aceh dengan tur perjalanan wisata ke beberapa tempat menarik.

Sebelum melakukan tur, diperlukan persiapan yang matang dalam hal kelengkapan dan keamanan bersepeda (sarung tangan, helm, pompa ban portable, ban dalam cadangan dan P3K), stamina, juga persiapan mempelajari medan perjalanan. Dikarenakan sebagian besar anggota dari komunitas ini juga tergabung dalam unit sistem informasi geografi, maka mempelajari dan menganalisa peta sebelum melakukan perjalanan adalah salah satu bagian persiapan tersendiri.

Berbagai rute dan tempat wisata di Banda Aceh telah ditelusuri, seperti Mata Ie (mata air), sungai di bawah batu, menyusuri pantai Lhok Nga, berlanjut menikmati keindahan pantai Lampuuk dan singgah sejenak untuk memberikan doa kepada korban tsunami di monumen kuburan massal.


Rekor terbaru yang dicapai adalah perjalanan ke P.Sabang, menyeberang dengan menggunakan kapal ferry dari pelabuhan Ulee Le. Bersama dengan anggota Aceh Bicycle Community, target utama perjalanan ini adalah menuju KM 0 Indonesia. Tur Sabang dimulai dari pelabuhan Balohan kemudian melewati Danau Aneuk Laot, menikmati terbenamnya matahari di Pantai Mesra. Rute perjalanan di P.Sabang yang kebanyakan menanjak sampai kemiringan hampir 45 derajat merupakan tantangan tersendiri.

Banda Aceh semakin hari semakin padat kendaraan, kian macet dan berpolusi. Bersama dengan komunitas Aceh Bicycle Community, ETESP-24 Riders turut aksi dalam memperingati Hari Bumi 22 April lalu, mengkampanyekan “Ta 'Ek Itangeen Peuseulamat Bumoe Geutanyoe” (Bersepeda Bersama Menyelamatkan Bumi Kita). Sebuah semangat yang perlu diperjuangkan agar masyarakat Aceh tetap bisa menghirup udara segar di pagi hari dan menghargai keindahan alamnya.

Teks oleh : Sri Dewi Susanty
Foto oleh : dokumentasi ETESP-24 Riders

*untuk Jurnal Nasional, edisi Sabtu, 5 Mei 2007