Thursday, October 25, 2007

Kesetiaan pada Sejarah


Usia Abdul Gani memang sudah cukup tua, 76 tahun, namun masih memiliki ingatan yang cukup tajam. Sambil sesekali bercanda, ia menjelaskan isi dari beberapa buku yang ia jual di kios 147 pasar barang antik di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Perawakannya kecil dan seluruh rambutnya telah memutih. Tampak penjual sekitar menaruh hormat dan segan padanya. Ini juga dikarenakan Abdul Gani adalah orang tertua dan paling lama berjualan di pasar tersebut.

Dalam usianya itu Abdul Gani tidak memutuskan untuk pensiun dan menikmati hari tua, namun tetap setia menjalankan bisnis kamera antik dan buku-buku tua, yang sudah digelutinya sejak tahun 1974. Toko Abdul Gani adalah satu-satunya toko yang menjual buku-buku langka di pasar barang antik Jalan Surabaya. “Sukarno in Autobiography as told by Cindy Adams” (1965), “Di Bawah Bendera Revolusi” jilid 1 (1963) dan “Di Bawah Bendera Revolusi” jilid 2 (1964) adalah sebagian dari buku sejarah legendaris koleksinya.

Kecintaan Abdul Gani terhadap buku dimulai sejak tahun 1955, ketika pindah ke Jakarta dari kota kelahirannya Tangerang untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Teknik Pertama (setara dengan SMP). Buku-buku dongeng, sejarah, ilmu bumi dan bahasa daerah adalah jenis buku yang dia baca pada waktu itu. “Sejarah Tanah Jawa” dan, “Tarich Atjeh dan Nusantara” merupakan dua dari sekian buku favoritnya.

Satu kertas yang lapuk, mungkin bisa menyelamatkan sebuah negeri”, demikian nasehatnya. Pernyataan itu pula yang menjadi alasan kenapa dia gemar mengoleksi buku-buku langka. Buku-buku yang dijual di tokonya memang bervariasi dan kuno, seperti buku sejarah dan kebudayaan Jawa, sastra Jawa, sejarah Indonesia, pahlawan daerah, dan masih banyak lainnya. Untuk buku-buku hukum, buku koleksinya merupakan terbitan mulai tahun 1849 sampai 1920-an dan kebanyakan berbahasa Belanda. Sebisa mungkin dia hanya menerima buku-buku di bawah tahun 1950 dari pemasok buku. Tapi tak jarang dia menerima pasokan buku “baru” karena kasihan dan ingin membantu sesama penjual. Dengan sedikit berbisik ia mengatakan “Kasian kalau tidak dibeli, saling bantu lah,” sambil menerima beberapa buah majalah dan menyelipkan sejumlah uang ke kantong seorang lelaki tua yang datang mengendarai sepeda ontel.

Ketekunan Abdul Gani mengumpulkan buku-buku lawas dan langka membuat lelaki beranak sepuluh ini cukup dikenal oleh masyarakat; wartawan dan mahasiswa pernah datang untuk mencari ide atau mencari data untuk tulisan mereka, koleksi buku-bukunya pun pernah menjadi latar belakang syuting sebuah film berjudul Lentera Merah. Museum Fatahillah juga pernah menyewa 400 buku koleksi Abdul Gani untuk keperluan syuting film.

Ketika ditanya mengenai pelanggan, Abdul Gani menceritakan bahwa dia sangat senang sekali jika pembeli buku-bukunya adalah orang Indonesia, bukan bule. “Kalau yang membeli buku-buku Bapak adalah orang Indonesia, Bapak senang sekali karena mereka masih perduli dengan sejarah bangsa sendiri. Bapak tak heran jika yang mendatangi atau membeli buku Bapak orang bule, Bapak tahu mereka memang kagum dengan sejarah dan kebudayaan kita sejak dulu. Menurutnya, sejumlah pelanggan berkewarganegaraan Malaysia, Thailand, Korea, Amerika, Perancis dan Belanda sering mencari buku lawas di tokonya.

Seorang reporter dari sebuah stasiun televisi swasta pernah menanyakan kenapa dia tidak menyumbangkan saja buku-buku tersebut untuk perpustakaan nasional. Lelaki sederhana ini pun menjawab "Bapak tidak yakin buku-buku tersebut dijaga. Bisa hilang. Banyak kejadian begitu, kan?"

Kesetiaan Abdul Gani terhadap sejarah tak sebatas pada koleksi buku-buku tua yang dijualnya. Ia juga memiliki koleksi foto-foto Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, foto pahlawan, dan juga gemar filateli. Dua buah peta Batavia yang dibuat pada tahun 1750 dan 1790 yang dimilikinya jelas merupakan peninggalan sejarah berharga. Prinsipnya, jika ia hanya memiliki satu buah saja untuk satu judul buku, ia memilih untuk menyimpannya dalam perpustakaan pribadi di rumahnya.

“Sejarawan” seperti Abdul Gani memang merupakan “sejarah tersendiri” di antara sekian juta rakyat Indonesia, yang sepertinya semakin tidak perduli lagi dengan sejarah dan identitas bangsa, terutama generasi muda yang kian tenggelam dalam keduniawian. Sebagai “rakyat biasa”, kesetiaannya pada sejarah patut diteladani.

Satu hal yang menjadi kekhawatirannya, tak ada satupun dari anaknya yang memiliki kecintaan terhadap buku dan sejarah seperti dirinya. Wajahnya tampak sedikit murung ketika ia menjelaskan kekhawatirannya itu. Satu-satunya harapan terletak pada anak bungsunya, Suhada, yang masih kuliah di sebuah sekolah tinggi seni di Bandung. Dalam kesehariannya menjaga toko, Abdul Gani dibantu seorang keponakan.

Buat Bapak, walau sudah tua tapi jika masih berguna buat orang lain, Bapak tidak mau diam saja di rumah,” ujarnya dengan senyum yang kembali mengembang.

Teks oleh: Sri Dewi Susanty
Foto oleh: Toto Santiko Budi

(http://totopicture.smugmug.com/gallery/3301108#183430683)

Wednesday, August 15, 2007

Travelogue: Kanise, Tersibaknya sebuah Warisan Budaya Dunia




Awalnya saya beringsut-ingsut ketika atasan tanpa konfirmasi mengganti jadwal kunjungan lapangan saya dipercepat 3 hari dan menjadi lebih lama dari rencana sebelumnya. Siapa yang betah berlama-lama tinggal di daerah terpencil di mana listrik, air dan sinyal HP dalam keadaan hidup segan mati tak mau. Namun, ketika saya coba untuk menikmatinya dengan berlagak turis, suasana hati menjadi menyenangkan.

Setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih 1,5 jam dari Banda Aceh menuju Gunung Sitoli melalui Meulaboh, dan 3 jam perjalanan dengan mobil, sampailah saya dan rekan kerja ke Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan (Kanise). Bosan beristirahat di hotel selama 1 jam, sayapun menerima ajakan rekan kerja menikmati pantai Sorake yang terkenal sebagai surga surfing dunia. Langit pantai Sorake memang biru jernih dengan sinar mataharinya yang cukup ramah di kulit, namun sayang, sejak gempa beberapa tahun silam, telah menyebabkan naiknya permukaan daratan dan pantai pun menjadi jauh menjorok ke dalam.

Hanya terlihat dua orang asing yang sedang berjalan kaki, losmen dan cottage yang sepi, seorang penjual barang kerajinan yang menyusuri pantai mencoba menemukan calon pembeli, dan pembuat perahu dayung yang sedang mengerjakan pesanan perahu bantuan dari sebuah LSM internasional.

Karena tidak bisa menikmati sunset di pantai ini, kamipun beranjak pulang dan memutuskan untuk menghabiskan sore di sebuah Kampung Megalitikum bernama Botohili. Karena terletak di dataran tinggi, jalan menuju kampung ini melewati beberapa tanjakan dan berakhir di sebuah susunan anak tangga batu tua, yang di sisi kiri dan kanannya terdapat hiasan patung naga khas budaya Nias. Sama layaknya dengan masyarakat lain yang sedikit merasa “terganggu” dengan kedatangan sesuatu yang asing, masyarakat di kampung inipun demikian. Namun Anda akan mendapatkan senyuman yang lebar dan sambutan yang tulus, ketika kebekuan itu Anda cairkan dengan ucapan “Yaahowu” yang berarti “Salam”, sama seperti “Horas” pada suku Batak dan “Assalamualaikum” pada umat muslim.

Pemandangan yang tersibak di balik anak tangga terakhir sungguh luar biasa. Sebuah perkampungan dengan susunan rumah-rumah adat Nias Selatan di sepanjang kiri dan kanan, kira-kira sebanyak 100-150 rumah. Rumah-rumah panggung ini terbuat dari kayu, dengan tiang pancang di bawahnya yang berbentuk silang, dirancang sebagai penahan gempa dan tak satupun dari bangunan-bangunan kayu ini menggunakan paku! Karena merupakan pulau rawan gempa, sejak dulu masyarakat Nias telah berfikiran maju untuk merancang konstruksi rumah yang tahan terhadap gempa. Itulah sebabnya pula gempa tahun 2005 silam “hanya berhasil” merusak kontruksi bangunan atau gedung modern.



Suasana perkampungan tampak damai, dengan anak-anak yang sibuk bermain, berolah raga, mengambil air dari sumber air, ibu-ibu yang sibuk dengan jemuran pakaiannya, bapak-bapak yang berkumpul di balai-balai, seorang pemuda yang ramah (dan juga mengejutkan dengan melakukan atraksi lompat batu dengan spontanitas) menjelaskan tentang kampungnya dan pemandangan pantai yang dapat Anda nikmati dengan indah dari atas bukit tersebut. Sayapun sempat berpose bersama anak-anak Nias yang lincah namun tampak malu-malu (dan sangat senang) untuk difoto.

Teluk Dalam hanya merupakan sebuah kota kecil dan akan habis Anda lalui dalam waktu 15 menit saja. Namun sungguh, Kanise menyimpan banyak sekali warisan budaya tradisional yang sangat penting untuk dilestarikan. Badan Pendidikan dan Budaya Dunia UNESCO telah menetapkan satu-satunya rumah adat bangsawan Nias Selatan yang masih tersisa di Bawomataluo sebagai warisan budaya dunia.

Dan … Anda tidak akan menyesal telah menyempatkan diri ke sana!

Friday, July 06, 2007

Walk the World, Fight Hunger!

Tanggal 13 Mei 2007 lalu, seluruh dunia berjalan kaki sebagai aksi “Perangi Kelaparan”. Bangladesh, Vietnam, Trinidad, Qatar, Malaysia, Indonesia, Amerika adalah sekian negara dari 100 negara yang turut beraksi dan dilakukan serentak di seluruh dunia. Di Indonesia, aksi Perangi Kelaparan ini dilakukan di Jakarta, Surabaya dan Banda Aceh. Fight Hunger yang dimulai sejak tahun 2003 ini adalah salah satu program dari Badan Pangan Dunia (World Food Program) ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kepada masyarakat bahwa ada sekitar 400 juta anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia, menggalang dana untuk kelangsungan pemberian nutrisi dan makanan tambahan bergizi kepada anak-anak miskin dan kelaparan di seluruh dunia, juga untuk mengakhiri kelaparan pada anak yang ditargetkan pada tahun 2015.

Di Aceh dan Nias, pengumpulan donasi melalui acara ini akan disumbangkan untuk program School Feeding di 1.750 sekolah di 9 propinsi. Dengan berdonasi Rp. 30.000 – 50.000 siapa saja yang tertarik dengan kampanye ini bisa turut serta menyumbang pembelian biskuit bergizi untuk anak-anak sekolah.

Walk the World di Banda Aceh dibuka oleh Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal dan sebanyak 3500 peserta berjalan kaki sepanjang 5 km untuk mengkampanyekan kesadaran akan kelaparan anak. Selain kegiatan jalan bersama, digelar juga pameran tentang kegiatan WFP, kampanye melalui radio dan hiburan tarian tradisional dan musik. Acara ditutup oleh panggung akustik Rio Febrian yang berhasil mengobati masyarakat Aceh yang “haus” akan hiburan.

Semoga kampanye ini bisa meningkatkan kesadaran akan bahaya kelaparan pada anak sebagai generasi penerus bangsa dan banyaknya kasus gizi buruk di Indonesia dapat kita tanggulangi bersama.


Teks oleh: Sri Dewi Susanty
Foto oleh: Agus Samosir

Thursday, May 03, 2007

a Child's Eye; Dengar Apa yang Tak Mereka Katakan


Rosmawati, 13 thn, Al-Hidayah, Lhoseumawe.

“Ini teman saya yang sedang menyapu di lantai. Dia sangat suka menyapu. Kalau dia liat lantainya kotor, dia langsung menyapu. Dia tidak suka lantainya kotor. Nama dia Nurhayati.”

Panggung kehidupan yang tertangkap mata kamera di atas diabadikan oleh mata seorang anak penghuni panti asuhan Al-Hidayah. Hal yang dia potret sederhana, kehidupan sehari-hari di panti asuhan, namun berhasil dia visualisasikan dengan menyentuh.

Sebanyak sekitar 150 foto yang diambil oleh 60 anak dan remaja panti asuhan di tiga kabupaten di propinsi NAD – Banda Aceh, Pidie dan Lhokseumawe – dipamerkan di Museum Aceh, Banda Aceh (2-4 Mei 2007). Pameran ini merupakan program tahunan a Child’s Eye dari Save the Children untuk program Aceh dan dalam jadwal akan dipamerkan juga di Pidie (9-11 Mei 2007) dan Lhokseumawe (16-18 Mei 2007).

Ke-60 anak tersebut diberi pelatihan fotografi selama 1,5 bulan dengan metode yang mengutamakan keterlibatan anak-anak dalam proses pengajaran, seperti mempelajari teknik pemotretan dasar melalui permainan, diskusi, bertukar pikiran dan perhatian khusus pada perorangan untuk membantu fotografer muda tersebut mengembangkan ide dan narasi, menentukan dan mendiskusikan foto-foto mana yang menjadi favorit mereka untuk dipamerkan. Anak-anak tersebut juga telah merundingkan siapa yang akan berangkat ke Jakarta sebagai perwakilan untuk menampilkan karya fotografi mereka pada tanggal 14-22 Juni 2007 mendatang di Hotel Grand Melia Kuningan Jakarta.
Melalui program ini diharapkan anak-anak panti asuhan tersebut memiliki kepercayaan diri dalam mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan, yang salah satunya diungkapkan secara kreatif melalui media visual fotografi. Pameran foto ini juga berupaya memberikan kesadaran kepada masyarakat, media, lembaga-lembaga akan hak-hak anak yang tertuang dalam Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak.


Banyak hal yang ingin diceritakan oleh anak-anak tersebut dalam karya mereka. Tentang cita-cita teman dekat, tentang perkelahian, pengalaman dipotret, doa dan harapan, keadaan lingkungan, pertemanan, keceriaan masa remaja, kebersamaan, kenakalan, keisengan, keluguan dan berbagai potret kehidupan dalam sudut pandang anak-anak.

Bahwa anak-anak memiliki hak untuk mengutarakan apa yang mereka pikir seharusnya terjadi ketika orang-orang dewasa membuat keputusan-keputusan yang berdampak pada mereka. Orang-orang dewasa memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan sebaik-baiknya pendapat-pendapat anak (pasal 12, Kovensi Hak Anak).


Teks oleh : Sri Dewi Susanty
Foto oleh : dokumentasi a Child’s Eye (Rosmawati, Maulisa, Marzuki)

*untuk Koran Tempo, 27 Mei 2007

Tuesday, May 01, 2007

ETESP-24 Rider; Bersepeda-wisata di Negeri Serambi Mekah


Bekerja di perantauan memang kerap membuat para pelakonnya menjadi kreatif untuk melakukan kegiatan sebagai pembunuh waktu dan pelepas kejenuhan. Salah satunya adalah dengan bersepeda. Mulai dari keinginan berhemat dalam transportasi sehari-hari, kemudian berlanjut memperkenalkan gaya hidup “bike to work”, sampai pada akhirnya tercetus ide untuk mendirikan sebuah komunitas sepeda.


ETESP-24 Rider adalah sebuah komunitas bersepeda yang didirikan oleh para konsultan yang sedang bekerja pada salah satu proyek bantuan untuk Aceh dari sebuah lembaga donor Asia di Banda Aceh. Selama bertugas di negeri Serambi Mekah ini, mereka mencoba memanfaatkan waktu luang dan mengeksplorasi keindahan alam Aceh dengan tur perjalanan wisata ke beberapa tempat menarik.

Sebelum melakukan tur, diperlukan persiapan yang matang dalam hal kelengkapan dan keamanan bersepeda (sarung tangan, helm, pompa ban portable, ban dalam cadangan dan P3K), stamina, juga persiapan mempelajari medan perjalanan. Dikarenakan sebagian besar anggota dari komunitas ini juga tergabung dalam unit sistem informasi geografi, maka mempelajari dan menganalisa peta sebelum melakukan perjalanan adalah salah satu bagian persiapan tersendiri.

Berbagai rute dan tempat wisata di Banda Aceh telah ditelusuri, seperti Mata Ie (mata air), sungai di bawah batu, menyusuri pantai Lhok Nga, berlanjut menikmati keindahan pantai Lampuuk dan singgah sejenak untuk memberikan doa kepada korban tsunami di monumen kuburan massal.


Rekor terbaru yang dicapai adalah perjalanan ke P.Sabang, menyeberang dengan menggunakan kapal ferry dari pelabuhan Ulee Le. Bersama dengan anggota Aceh Bicycle Community, target utama perjalanan ini adalah menuju KM 0 Indonesia. Tur Sabang dimulai dari pelabuhan Balohan kemudian melewati Danau Aneuk Laot, menikmati terbenamnya matahari di Pantai Mesra. Rute perjalanan di P.Sabang yang kebanyakan menanjak sampai kemiringan hampir 45 derajat merupakan tantangan tersendiri.

Banda Aceh semakin hari semakin padat kendaraan, kian macet dan berpolusi. Bersama dengan komunitas Aceh Bicycle Community, ETESP-24 Riders turut aksi dalam memperingati Hari Bumi 22 April lalu, mengkampanyekan “Ta 'Ek Itangeen Peuseulamat Bumoe Geutanyoe” (Bersepeda Bersama Menyelamatkan Bumi Kita). Sebuah semangat yang perlu diperjuangkan agar masyarakat Aceh tetap bisa menghirup udara segar di pagi hari dan menghargai keindahan alamnya.

Teks oleh : Sri Dewi Susanty
Foto oleh : dokumentasi ETESP-24 Riders

*untuk Jurnal Nasional, edisi Sabtu, 5 Mei 2007

Saturday, April 28, 2007

Puisi: Akankah ia ... ?

Di dalam penat senang ku terpaku
ingatan pun kembali berpulang
melanglang jauh
dan mendarat ke sebuah dunia kecil
dalam dimensi ruang dan waktu yang membeku

20 tahun diriku menempa di sana
selalu kuingin berbalik
menghirup kembali masa lalu
keindahan masa kecil di tanah rencong

Berkian kali hati terasa bergelisah
akankah ia masih sama ?
setelah garis Tuhan lewat tsunami-Nya
menyapu segala kenangan dan kebanggaan

Akankah ia masih sama ?
ketika berjuta tangan seolah tampak begitu perduli dengannya ...
ke mana mereka selama ini ?
ketika berjuta otak berlomba menjadikannya sebuah proyek citra ?
baru mereka berbondong datang

Mungkin ku terlalu takut untuk membuka mata
takut mendapati dia
tlah menjadi asing ...
seperti diriku, yang juga tlah berubah
di kota yang penuh dengan
keinginan untuk menjadi sama dengan yang lain ...

Puisi: Jakarta … (Untuk Kesekian Kalinya)

Sebuah dimensi
Di mana waktu menjadi sangat tak berarti, sekaligus menjadi begitu berarti

Black hole …
Kau bisa melihat pusarannya, dengan aliran waktu yang semakin cepat di tengahnya …
Dan kau bisa tersedot ke dalam
Masuk ke sebuah ruang lain
ATAU HILANG ?!? (secara harafiah)
KEHILANGAN DIRIMU SENDIRI ?!

Jakarta tak membiarkan seseorang kesempatan untuk meresapi cinta
Untuk mengendapkan sakit hati
Untuk termehek-mehek akan kasmaran yang amat sangat
Untuk menjadi pujangga …

Jakarta memberikan kesempatan manusianya
Untuk … MENGALAMI

Dan beruntunglah sekian orang yang mau dan sempat …
Memperlambat apa yang berlalu sangat cepat
Menghayati apa yang dialami dengan instan
Melihat kembali ke belakang
Memporak-porandakan kembali segala peristiwa
Untuk menemukan sebuah inti
Untuk mengerti makna

BUKAN … BERLALU … BEGITU … SAJA …

Monday, April 02, 2007

ETESP-24 Kabupaten Information Sheet



Content by : Sri Dewi Susanty/ETESP-24
Design by : Ganni Ramadian Mulya/ETESP-24

Thursday, March 29, 2007

Media Release: ADB and BRR Lead Mid-Term Review of ETESP’s SPEM Project in Nias


GUNUNG SITOLI, NIAS, March 16, 2007. Asian Development Bank (ADB) and Black & Veatch organized a mid-term review of Earthquake and Tsunami Emergency Support Project Package 24 (ETESP-24) project under the auspices of Rehabilitation and Reconstruction Agency NAD-Nias (BRR NAD-Nias) and Agency for Regional Development Planning (Bappeda) in Nias on the work completed in four of the eight sub-districts namely Botomuzoi, Hiliduho, Namohalu Esiwa, and Tugala Oyo. It aims to disseminate the preliminary information gathered across these sub-districts and to seek BRR and Bappeda’s support for the ongoing activities.

The mid-term review was completed on March 6, 2007 in Bappeda Nias office and was well attended by delegates from Bappeda, ADB, BRR, NGO, and the community leaders from Hiliduho, Lotu, Botomuzoi and Namohalu Esiwa sub-districts. Topics discussed included ideas which will be incorporated into the RKPD, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, (Local Government’s Work Plan) and other NGO programs.

“We are delighted with what ETESP-24 has achieved. We would appreciate if the coverage is extended to the remainder of the island. We plan to incorporate these projects into our next budgeting and planning cycle,” says the Head of the Bappeda in Nias, Baziduhu Zebua.

A similar enthusiasm is expressed by William Sabandar, the Head of BRR Nias, “I expect ETESP-24 would cover all sub-districts in Nias and Nias Selatan and should be used not only by BRR, but also other stakeholders, the local government, NGOs, and donor agencies. These Action Plans will facilitate future planning for the local government and BRR.”

Since November 2006, Black & Veatch, under contract with the Asian Development Bank’s (ADB) Earthquake and Tsunami Emergency Support Project Package 24 (ETESP-24) has been focusing on Spatial Planning and Environmental Management (SPEM) at the sub-district (kecamatan) level. This specific project, ETESP-24, is part of a suite of rehabilitation and reconstruction projects funded by the ADB and coordinated by the BRR, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi NAD-Nias (Rehabilitation and Reconstruction Agency NAD-Nias). The technical assistance will produce frameworks to assist “building back better” the areas in Aceh and Nias affected by the disasters.

ETESP-24 focuses on preparing spatial development planning frameworks and action plans for selected sub-districts and consolidates a broad spectrum of issues such as location data and stakeholders inputs as a basis for more accurate and balanced detailed planning in the future. The frameworks include information on population and land area, land usage, economic activities and livelihood, environment and natural resources, government and institutions, social services, and infrastructure. Kecamatan Spatial Frameworks and Action Plans (KSF-APs) are being prepared for 20 sub-districts designated by BRR in Nias, Simeulue and Aceh Selatan.

Attending the mid-term review, Rehan Kausar, ADB’s Housing and Spatial Planning Advisor, explains, “These KSF-APs are not just documents but extremely valuable planning tools. That is why the involvement of the BRR and Bappeda is crucial to endorse this exercise. These frameworks identify projects in terms of priority and ideally should feed into the district’s public expenditure plan.”

The Team Leader of ETESP-24, William Bloxom, notes that while the current scope of work covers only eight sub-districts in Nias, these plans should serve as a model for the next session of field work.
According to him, one of the key aspects of this approach is defining the linkages between the individual sub-district plans. “If the same approach is followed for the remaining sub-districts, Nias would end up with an integrated network of plans all nested within the overall district spatial plan.”

The KSF-AP and data analysis are expected will be available for government planners and decision makers, donor organizations, local and international NGOs, community leaders and other organizations involved in development, reconstruction and rehabilitation in NAD-Nias.

“I think it is important to start sharing the Kecamatan Action Plans with the UN, international NGOs and the Red Cross movement. UNORC is always promoting cooperation and the sharing of information and data so perhaps we can help ADB to organize similar presentations to the one in Bappeda for international organizations and national NGOs. Using these frameworks will help international NGOs and the UN in the coming years to quickly identify which local government priority projects could be supported,” comments the Head of UNORC Nias office (Office of the United Nations Recovery Coordinator for Aceh and Nias),Ros Young. She also explained that one of the problems in Nias for the last two years is there has been the lack of detailed information, especially on infrastructure, from the more remote sub-districts on the island.

To support effective and comprehensive planning, ETESP-24 utilizes the latest GIS technology and methods to determine and present up-to-date spatial information about an area. This information will facilitate more accurate and realistic determination of needs and more effective comparison of factors so the selected projects will contribute to a more rational and sustainable development.

As strengthened by T. Nirarta Samadhi, Head of Planning and Controlling Division of BRR Nias, “The advantage of ETESP-24 is that it will provide a geospatial database in mapping format as basis for decision making.”

For more information about ETESP-24 and other ETESP projects, please contact:


ADB Extended Mission in Sumatera
Head of ADB-EMS
Jln. Cut Nyak Dhien 375, Lamteumen Timur
Banda Aceh, NAD 23236
T: 0651 41429 F: 0651 45773
www.adb.org


BRR Nias Representative
Head of Planning and Controlling Division
Jln. Pelud Binaka Km 6,6 Desa Fodo
Gunung Sitoli, Nias
T: 0639 22848 F: 0639 22035
www.brr.go.id


BRR NAD-Nias
Deputy of Housing and Settlement
Jln. Muh. Thaher 20, Leung Bata
Banda Aceh, NAD 23247
T: 0651 636666 F: 0651 637777
www.brr.go.id



Written by : Sri Dewi Susanty/ETESP-24
Design by : Ganni Ramadian Mulya/ETESP-24

ETESP-24 Map Folder


Content by : Sri Dewi Susanty/ETESP-24
Design by : Ganni Ramadian Mulya/ETESP-24


ETESP-24 Frequently Asked Questions


Content by : Sri Dewi Susanty/ETESP-24
Design by : Ganni Ramadian Mulya/ETESP-24

ETESP-24 Fact Sheet



Content by : Sri Dewi Susanty/ETESP-24
Design by : Ganni Ramadian Mulya/ETESP-24

ETESP-24 Brochure



Content by : Sri Dewi Susanty/ETESP-24
Design by : Ganni Ramadian Mulya/ETESP-24

Monday, March 05, 2007

Travel Photography with Journalistic Approach


Slide show by Edy Purnomo, Ng Swan Ti/JiwaFoto
Organized by Sri Dewi Susanty/JiwaFoto

Fotografi perjalanan atau yang lebih dikenal dengan travel photography merupakan salah satu bidang dari fotografi yang cukup popular. Untuk seseorang yang senang melancong, mengunjungi tempat tempat menarik, menyukai fotografi dan ingin membawa “oleh-oleh” koleksi foto yang bagus, akan menemukan acara ini sebagai sebuah referensi yang bermanfaat. Bagi kalangan hobbyist atau traveler, membawa pulang foto hasil perjalanan dengan kualitas yang bagus akan menjadikan portfolio yang potensial untuk diterbitkan di media.

Bagaimana teknik fotografi agar dapat “menangkap” keindahan alam di lokasi ataupun objek wisata, namun jangan sampai alam yang sudah memiliki daya tarik luar biasa tersebut menjadi
terasa “kaku dan hampa” ? Bagaimana teknik agar kisah sebuah perjalanan menjadi menarik untuk diceritakan secara visual? Fotografer Edy Purnomo menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan pendekatan jurnalistik agar fotografi perjalanan menjadi lebih mampu “bercerita”.

When Jazz Meets Design

”Jazz is a feeling, more than anything else.”(Mark C Gridley)

Sebenarnya belumlah begitu lama saya mengenal jazz, sekitar 5 tahun saja, waktu yang sangat singkat, and I'm still learning how to enjoy that music. Untuk pemula seperti saya, banyak sekali hal yang ditawarkan jazz untuk membuat hidup saya lebih berwarna. Seperti menjumpai sebuah kehidupan yang sendu dan melankolis.
Sampai sekarang jazz masih dikenal eksklusif dengan gaya hidup middle up class (namun tidak bisa dipungkiri banyak usaha untuk membuat jazz lebih down to earth), karena adanya anggapan tidak semua orang bisa menikmati musik jenis ini.


Padahal ditilik dari sejarahnya, bukan cerita yang baru bahwa jazz justru hadir dari kalangan bawah, kalangan kulit hitam New Orleans. Jazz lahir dari kehidupan para Negro yang terbelenggu, terbatas haknya sebagai manusia biasa, (faktanya rasisme masih saja berlaku sampai sekarang), termasuk dalam hal mengekspresikan diri/emosinya (that's why we say that jazz is a feeling). Tetapi mungkin sebenarnya tidak ada hubungan antara suatu kalangan tertentu terhadap cara seseorang berekspresi. Dasarnya, untuk menikmati jazz, seseorang harus lebih peka/perasa, sensitive feeling, daya ekspresi seni tinggi (otak kanan lebih berperan), punya banyak pengalaman emosional, dan lebih mature. Untuk mengerti secara utuh, seorang penikmat jazz juga harus bisa memainkan suatu alat musik, jadi menikmati jazz cenderung membutuhkan waktu relatif lebih lama. Anda tidak bisa memahami dengan hanya mendengakannya sepotong-sepotong. Untun dapat menikmati jazz, Anda harus bersedia tenggelam di dalamnya. Kekuatan jazz bukan terletak pada lirik atau isi lagu, sama seperi musik klasik, ia berbicara lewat nada. Jika Anda penikmat jazz sejati, telinga (dan jiwa) Anda tentulah sangat akrab dengan Louis Amstrong, Miles Davis, Chick Corea atau Duke Ellington.

Namun akhir-akhir ini musik jazz telah bisa dinikmati oleh banyak orang, dengan hadirnya variasi jazz yang dikolaborasikan dengan musik etnik (pernah dengar Bintang dan Idang Rasyidi dalam Jazzy Duet, atau Syaharani dalam album What A Wonderful World), atau acid jazz, jenis jazz yang lebih kontemporer, dan memang jazz yang paling banyak penikmatnya adalah light jazz ; Incognito, Norah Jones, Diana Krall, etc. Kalangan muda dunia juga sudah mulai menikmati jazz yang diramu dengan lebih ringan.

Seno Gumira dalam novelnya Jazz, Parfum & Insiden (sudah 5 kali saya baca), menceritakan kehidupan malam yang kerap dihubungkan dengan musik jazz, musik malam, yang sampai saat ini masih kita temi di sebagian besar café di manapun. Detail sekali novel ini merunutkan sejarah musik dan kehidupan jazz. Memang untuk menikmati jazz, Anda membutuhkan waktu dan tempat yang khusus (identik dengan malam hari, sehabis hujan), waktu di mana Anda biasanya rileks.

Kehadiran cafe di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup unik pula, dan memang tak bisa terlepas dari sejarah kelahiran cafe-cafe di Perancis dulu. Cafe , bahasa Perancis dari kopi di negara asalnya ini merupakan tempat-tempat masyarakat Perancis menikmati sarapan atau rehat di sore hari, seperti pada budaya Inggris menikmati afternoon tea. Malah di Perancis, café merupakan media sosialisasi masyarakatnya. Cafe-cafe di Perancis juga terkenal telah melahirkan para pemikir besar seperti Sartre, Derrida dan Foucaoult. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya dan Denpasar telah terkenal dengan gaya hidup cafe-nya. Barangkali Anda pernah mengunjungi Maccaroni Club di Bali, Bakoel Koffee, The Coffee Bean di Jakarta juga sederetan cafe berdesign unik di sepanjang Kemang. Di Jogja sendiri, mungkin Anda dapat menikmati kopi dengan suasana yang cukup pas di Java Cafe atau Gadjah Wong (jazz session).

Di kehidupan modern, cafepun menjadi tempat di mana masyarakat kota melepas segala kepenatan. Simak saja kehidupan malam dalam sitcom Friends atau Ally McBeal . Central Perk dalam Friends menjadi tempat hang out para New Yorkers (of course including our friends Rachel, Monic, Phoebe, Chandler, Joey & Ross), setelah penat bekerja, kencan, bahkan pertemuan bisnis. Ally McBeal juga tak lupa menyempatkan diri di penghujung senja untuk menikmati secangkir kopi bersama rekan kerja (atau justru menyendiri) sambil asyik mendengarkan musik yang dialunkan Vondha Sephard. Terlepas dari siapa yang sedang jatuh cinta, siapa yang sedang patah hati, siapa yang sedang bingung, siapa yang sedang sedih, siapa yang sedang marah, semuanya berkumpul untuk melepaskan emosinya dengan secangkir kopi dan iringan musik yang santai.

Design grafis, sebagai ilmu yang di-support oleh banyak disiplin ilmu, meliputi seni, komunikasi, arsitek, psikologi, filsafat, budaya, bahasa, sains, politik dan entertain , maka Cafe + Coffee + Jazz = Design. Kemudian sayapun menympulkan demikian. Apabila Anda senang mengamati hal-hal kecil di sekeliling Anda, pasti Anda menjumpai cafe tempat Anda nongkrong didesain sedemikian rupa. Banyak tema yang diangkat untuk desain-desain tersebut yang diwujudkan dalam interior, desain gedung dengan bertema futuristic, black & white, fashion, art, etnik, dan sebagainya.

Begitu pula dengan kopi sebagai menu utama. Saya menyebutkan varian dan invasi resep juga sebagai sebuah desain. Setiap cafe pasti punya racikan tersendiri, jenis kopi sendiri, menu andalan sendiri. Saya pastikan Anda pernah mencicipi Blue Coffee, Fruit Mix Coffee, Macchiato, selain varian klasik hazelnut, mocha, cappuccino, espresso dan cafe latte. Penyajiannya pun tentu tidak biasa-biasa saja, mulai dari wadah yang digunakan, penataan racikan, sampai cara penyajian, belum lagi aksen-aksen hiasan yang menarik dan kreatif. Rasa saja belum cukup, ada elemen lain yaitu packaging dan how to serve it. Dunia kecil ini tentu saja semakin lengkap dengan hadirnya musik (biasanya jazz atau blues) yang mewarnai suasana café.

Setelah lelah berputar-putar ke sana ke mari, lalu apa hubungannya jazz dengan desain ? Terinspirasi dari kado pemberian teman dekat, terlintas beberapa desain cover kaset maupun CD kompilasi musik jazz yang sempat saya amati. Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari penampakan tersebut, yaitu classic design. Kenapa idiom yang digunakan untuk mewakili musik jazz ini justru desain yang klasik ? Bagaimana dengan musik klasik sendiri ? Cover desain Cafe Jazz Series, Jazz on Cinema, Smooth Jazz, Jazzy Tunes, Contempo Sound & Voice, Jazzy Duets, kemudian Fourplay, A Mild Acid Jazz, Cool Notes, Jazz Ballads , dll, semuanya menggunakan desain yang simple, soft & chic. Seolah image yang muncul bisa diterjemahkan bahwa musik yang disajikan dalam jazz itu smart and tidy. (Anda ingin tahu dress code jika ingin menonton jazz ? Kenakan pakaian terbaik Anda !). Padahal jazz itu intinya adalah improvisasi, tidak ada musik yang sama dalam permainan jazz. Karena itu pula pecinta jazz tidak bisa melewatkan satu even konser jazz favorit mereka, improvisasi tersebut tidak akan pernah dijumpai dalam konser atau record lainnya. Mood atau emosi jazzer yang berubah-ubah pada saat itu akan terpancar dari permainannya. Jazz juga adalah pembebasan diri. Pemusik jazz tidak lagi bermain di tataran cord-cord yang sudah ada, banyak pembelokan di sana sini, mengalir dan terus mengalir.

Sayangnya spirit ini tidak didukung oleh visualisasi yang cukup representatif. Ambil contoh Jazz Cafe Series ; Cappucino, Latte, Mocha dan Espresso. Cover berupa foto secangkir kopi (tergantung jenisnya) dengan nuansa coklat untuk cappuccino, dominan putih untuk latte dan seterusnya, yang diambil dengan soft focus. Foto-foto tersebut sungguh memberikan kesan sweet dan classic. Suasana cafe yang benar-benar nyaman dan santai, dengan interior bergaya modern dan simple. Untuk koleksi Smooth Jazz, desain silhouette seorang penari (tidak jelas balet, salsa, dance atau asereje) dengan berbagai pose. That’s all. Fourplay, foto black and white sebuah botol (ingatan kita langsung tertuju pada iklan-iklan Absolute Vodka) berjudulkan Fourplay. Masih dengan desain yang klasik, pada cover Jazz on Cinema, satu-satunya yang menghubungkan sinema dengan visualisasinya adalah clapper horizontal di sisi atas dan bawah. Pada cover Cool Notes yang merupakan kumpulan pop jazz hanya berupa gambar photo paint sebuah hydrant pemadam kebakaran (apa hubungannya ya ?) dengan efek pencil colouring. Album Mezzoforte, sebuah kursi putih mulus (desain Vitra atau Flo) dengan background kuning terang benderang. Umumnya pada desain terdapat gambar saxophone sebagai ikon jazz, lain kata desain pasarannya adalah gambar saxophone dijadikan huruf J dalam tulisan Jazz.

Dalam Jazz Chillout, agak sedikit berbeda, seorang pria muda atau wanita muda sedang tertawa dengan gayanya yang cukup funky, lengkap dengan earphone. Tergelitik untuk tahu jenis jazz apa yang disuguhkan, sayapun menelusuri daftar lagu, dan pada akhirnya mengernyitkan dahi. Masih penasaran dengan kesimpulan sementara, saya coba mendengarkan, kemudian sempurnalah kesimpulan saya. Tadinya saya pikir Jazz Chillout menawarkan suatu konse yang berbeda, ternyata kontradiksi ; lagu-lagu yang disusun adalah lagu-lagu old jazz (and you know what ? it’s very-very slow !) Atau mungkin sebenanya konsepnya adalah kontradiksi ? Memang ada banyak hal dibalik penciptaan sebuah desain album jazz. Bisa saja proses itu memang sangat subjektif, karena dalam sebuah album kompilasi, pemusik tidak lagi berurusan dengan panyajian. Bisa saja imej dan imajinasi sang desainer tentang jazz yang pada akhirnya menonjol, dan tentu saja ada kepentingan komersil, how to sell it. Lain halnya dengan album jazz solo, pemusik bisa lebih banyak turun tangan menciptakan konsep, karena desain itu akan mewakili citra dirinya, atau mewakili konsep musik yang dia tawarkan (walaupun kebanyakan menampilkan foto diri mereka saja).

Kesimpulan yang bisa dipetik dari sedikit corat-coret di atas ini mungkin adalah perlu pemahaman yang lebih mendalam untuk mengerti dan memahami jazz, kemudian menuangkannya ke dalam sebuah desain, yang mewakili spirit atau jiwa jazz itu sendiri. Sebuah usaha yang tidak gampang, karena Anda harus membuka diri dan hati Anda selebar mungkin, melelehkan diri kedalamnya. And until now … I’m still learning how to fly … fly away with jazz …


*for Blank, a Jogjakarta graphic design magazine ...

Perempuan Tanpa V


BOOK LAUNCH and PHOTO EXHIBITION*
“PEREMPUAN TANPA VAGINA”
by
Writer Merlyn Sopjan
Photographer Toto Santiko Budi


BACKGROUND

Waria, or transvestites, occupy a controversial position in Indonesian society. The community continues to search for equal rights and recognition, with the backing of a few women's groups.

Merlyn Sopjan is a waria who has highlighted this cause through her writing. Her second book, "Perempuan Tanpa Vagina" or "Women Without Vaginas", is about to be launched following the success of her first book, "Jangan Lihat Kelaminku" or "Don't Look at My Genitals," which was published in 2005. Apart from being an active writer, Sopjan works at the Syaiful Anwar Hospital in Malang as an HIV/AIDS case manager. The former student of the University of
Technology of Surabaya also heads the local Ikatan Waria (Waria Association) of her hometown Malang, where she achieved widespread recognition not only as the winner of several waria contests but as the result of a controversial bid to become Mayor of the small town.

In 2006, Sopjan entered the 2006 Putri Waria Contest and won first prize. As the winner, she will represent Indonesia in the International Miss Tiffany, International Queen in Bangkok which will take place in October of this year. With her new found fame, Sopjan plans to continue her efforts on behalf of the waria community. Our photographer Toto Santiko Budi has followed Sopjan through her everyday routine, documenting her life. He first met Sopjan while covering the Miss Waria Indonesia 2006 contest in Jakarta and has continued to pursue a personal project in documenting Sopjan's unique experience living in her home town of Malang. The two have worked to put together this photo exhibition "Women Without Vaginas" to coincide with the launch of Sopjan's second book.

Budi's photographs have been published in numerous domestic and international publications including Koran Tempo, Play Boy Indonesia, Garuda In-flight Magazine, Time Asia, Bloomberg News, and Stern. This will be Budi's first exhibition.

Kembang Kempis Nafas Tanjidor


Photo by : Yusnirsyah Sirin/JiwaFoto


Ulang Tahun Jakarta barangkali adalah waktunya mengingat tradisi Betawi. Pemda DKI gencar mempromosikan kesenian dan kebudayaan asli Betawi sebagai aset pariwisata kota Jakarta dan media-media tak luput mengulas tradisi Ondel-ondel, Gambang Kromong, Lenong Betawi, Orkes Gambus, Topeng Betawi, Tanjidor dan kesenian tradisional lainnya.


Orkes tanjidor, adalah salah satu kesenian musik tradisional Betawi yang mendapat pengaruh dari kebudayaan China dan berbagai negara di Eropa seperti Belanda dan Perancis.
Orkes Tanjidor dipercaya sudah ada sejak abad ke-18. Ensiklopedi Sunda (Pustaka Jaya, Agustus 2000) menerangkan, Tanjidor sebagai salah satu jenis kesenian di Karawang dan Bekasi, mempergunakan instrumen musik terompet, trombone, klarinet, tambur dan sebuah bajidor (bedug). Biasa dipertunjukkan untuk mengiringi upacara pawai, mempelai atau anak khitan, kadang-kadang ngamen di saat Capgome. Lagu-lagu yang disajikannya, di antaranya lagu-lagu Betawi, sepetti Sirih Kuning, Jali-Jali, Dayung Sampai, Cente Manis, dan Surilang dengan tangga lagu diatonis atau salendro diatonis. Di dalam perkembangannya, tanjidor dilengkapi dengan instrumen siklopone dan sering dimainkan saat memperingati HUT Kemerdekaan RI (hal.647)

Salah satu grup tua tanjidor yang masih bertahan adalah Tiga Saudara. Bersama segelintir grup lainnya, Tiga Saudara masih bertahan di tengah arus perubahan Kota Jakarta. Berbagai usaha untuk bertahan tersebut bisa diartikan sebagai memadukan unsur musik dangdut dan pop ke dalam orkes mereka atau menghadirkan bintang tamu sinden-sinden muda agar “laku”. Pun mencoba mewariskan kesenian ini kepada generasi muda, yang tak pernah benar-benar tertarik dengan musik yang kian tersingkir oleh zaman dan sulit dipelajari ini.

Wajar saja jika tak tertarik. Orkes musik yang didominasi alat musik tiup ini menjadi tak karuan terdengar di telinga, karena musisi peniupnya sudah berusia lanjut. Seperti pemimpin grup tanjidor Tiga Saudara yang juga peniup terompet tenor, Sait (58) atau Haji Kumat sang peniup terompet piston yang bahkan sudah berusia 84 tahun. Walaupun berusia renta, mereka tetap setia memainkan orkes tanjidor untuk menghibur penonton di pinggiran Jakarta dan sangat bersemangat mengajarkan di bawah panggung jika ada anak-anak yang ingin tahu.
Pipi mereka yang keriput kembang kempis memainkan orkes tanjidor, sama seperti hati yang kembang kempis akan kekhawatiran masa depan musik ini. Sudah saatnya ada yang bertanggung jawab agar tanjidor tidak hanya akan menjadi sebuah catatan sejarah.

*for Contents, a Jakarta lifestyle magazine

Saturday, March 03, 2007

An Oasis of Serenity



Text by : Sri Dewi Susanty/JiwaFoto
Photo by : Rama Surya/JiwaFoto

oh…i'm drowning in a sea of leaves
each one a perfect memory
all i want to do float forever
all i want to do is dream forever

am i sinking in your dream?

oohh.. are you here with me forever?
are you here with me forever?
are you here with me?

Are you here with me – Bali Lounge

Rasanya masih terpancang di ingatan dunia akan peristiwa Bom Bali II yang menelan sejumlah korban di Jimbaran dan Kuta Square awal bulan ini. Namun masih terpancang di hati dan ingatan dunia pula bahwa Bali adalah surga dunia yang tak pernah ada habisnya untuk dinikmati.

Sala satu surga dunia tersebut adalah The Oasis Beach Resort & Spa. Lokasinya yang terletak berhadapan langsung dengan pantai Tanjung Benoa menjadi daya tarik utama The Oasis Beach Resort & Spa. Melalui gedung yang berbentuk U dengan kolam renang sepanjang 70 m di tengahnya, Anda dapat menikmati pemandangan Pulau Nusa Penida dan Samudera India dengan leluasa.

The Oasis Beach Resort & Spa menyediakan 119 kamar dengan 88 Superior Rooms, 24 Deluxe Rooms, 6 Oceans Suites dan 1 RHADANA Suite dengan fasilitas yang membuat Anda berdecak kagum ; private pool yang berhadapan dengan laut, akses ke pantai pribadi, indoor dan outdoor shower terpisah, dan DVD set.

Hotel ini dilengkapi pula dengan fasilitas Restaurant and Bar ; The Skydeck yang terletak di rooftop dan berkonsep open air restoran membuat Anda dapat menikmati indahnya pemandangan Nusa Penida dan angin laut yang semilir menerpa. Restoran yang didominasi warna cokelat ini menyediakan Asian/Western cuisine dengan rasa yang lezat yang ditimbulkan oleh bahan-bahan makanan yang fresh dan alami. Ada lagi The Terrace Restaurant yang menyediakan makanan tradisional dan seafood yang juga merupakan tempat untuk Anda berelaksasi sambil menikmati minuman khas daerah tropis.

The Tirta Spa dengan 2 single room, 1 couple room dan outdoor Jacuzzi pool menyediakan pelayanan massage tradisional Bali dan ala Jepang, lengkap dengan romantic treatment for couple, yang tentunya sangat cocok untuk Anda berbulan madu dengan pasangan Anda. The Board Room yang dirancang untuk small corporate meeting dan dilengkapi dengan bath room pribadi menjadi pelengkap kenyamanan berbisnis Anda.

Rasanya Anda tak memerlukan lagi alasan lain untuk segera pergi berlibur ke Tanjung Benoa, menginap di The Oasis Beach Resort & Spa, dan merasakan angin bertiup yang membawa kedamaian ketika Anda berjemur di swimming pool yang memanjakan mata Anda dengan pemandangan Nusa Penida dan Samudera India, sambil menikmati segarnya minuman tropis serta alunan musik Bali Lounge.

The Oasis Benoa - Beach Resort & Spa

Jl. Pratama No. 68A,
Tanjung Benoa, Nusa Dua 80363
Bali - Indonesia.
Ph. (62-361) 770 126
Fax. (62-361) 778 426

Email:
info@theoasisbenoa.com

*for Contents, a Jakarta life style magazine

Meaningful Celebration

Text by : Sri Dewi Susanty/JiwaFoto
Photo by : Toto Santiko Budi/JiwaFoto

Tahun 2005 akan berakhir dalam waktu hitungan jam. Mungkin Andapun sedang merencanakan sesuatu untuk menutup tahun ini. Jika biasanya di penghujung tahun Anda biasa me-review hidup Anda dalam waktu satu tahun ke belakang, maka tahun ini saya ingin mengajak Anda untuk me-review arti perayaan tahun baru yang pernah Anda lalui di sepanjang hidup Anda.

Menjelang tahun baru, biasanya tempat-tempat hiburan mempromosikan dan mengagendakan acara-acara menggiurkan yang bisa Anda nikmati bersama teman atau pasangan Anda. Anda tinggal memilih menunggu detik-detik terakhir itu dengan hang out bersama teman-teman Anda di café, mengikuti outing atau outbound yang diadakan oleh kantor Anda, melamar pasangan Anda di restoran romantis, ber-pajama party sambil menonton film komedi di kamar hotel, menonton konser, atau berlibur ke luar kota, bahkan juga ada yang memilih untuk menikah !

Namun tak sedikit pula dari Anda yang lebih memilih merayakan tahun baru dengan sesuatu yang lebih bermakna ; seperti membuat garden party dengan tetangga (yang selama ini Anda tak punya waktu untuk sekedar untuk mengobrol), atau berkumpul bersama keluarga besar Anda, atau bersama sesama anggota milis yang Anda ikuti berinisiatif untuk membagi-bagikan sedikit penghasilan Anda kepada orang tak mampu, atau merayakannya bersama anak-anak yatim di panti asuhan.

Tahun baru bagi pedagang kecil adalah waktunya mereka untuk meraup sedikit keuntungan dengan menjual terompet dan pernak-pernik pesta. Tahun baru bagi pengemis anak-anak di jalanan adalah waktunya mereka untuk tertawa penuh keceriaan menikmati kembang api dan mendengar maraknya suara terompet di kawasan Monas. Tahun baru juga berarti kesempatan pedagang minuman untuk menjajakan dagangan mereka lebih banyak kepada orang-orang yang merayakan tahun baru di kawasan Monas maupun Ancol. Tahun Baru bagi masyarakat menengah ke bawah bisa berarti larut berjoget bersama dalam pertunjukan konser dangdut di TMII.

Sayangnya di negara kita, tidak ada perayaan tahun baru khusus yang diadakan pemerintah bagi masyarakatnya seperti yang berlaku di negara-negara lain. Pemerintah kota negeri ini mungkin masih terlalu sibuk dengan urusan-urusan penting mereka daripada sekedar membuat sebuah acara yang bisa dinikmati oleh masyarakat kebanyakan (yang juga butuh hiburan) di kota metropolitan Jakarta ini. Masyarakat masih mengandalkan acara-acara tahun baru yang disuguhkan oleh televisi, murah meriah dan menghibur.

Mengakhiri tahun 2005, dunia juga mengenang peristiwa satu tahun tsunami yang melanda Asia. Akibat yang ditinggalkan walau telah satu tahun berlalu, masih meninggalkan duka yang mendalam, dan masih terus membutuhkan bantuan dan dukungan moril Anda untuk membangun kembali negeri Serambi Mekkah.

Bagi sebagian Anda, Tahun Baru bisa juga berarti menyendiri dan berkontemplasi sejenak, mengingat peristiwa baik dan buruk apa saja yang telah terjadi di hidup Anda, mengambil makna, atau mendokumentasikannya ke dalam buku harian atau laptop Anda. Atau bahkan sekedar membaca buku dan mendengarkan musik di rumah.

Apapun acara yang Anda pilih untuk merayakan Tahun Baru, sisihkan sedikit waktu Anda untuk bersyukur. Di sela-sela kesibukan Anda me-review target pribadi dan perusahaan Anda, sisihkan sedikit Anda untuk berbuat kebaikan kepada sesama.

Starting from this incoming new year 2006 !


*for Contents, a Jakarta ifestyle magazine

Photo Agency : One Stop Solution for Your Picture Need


Text by : Sri Dewi Susanty/JiwaFoto
Foto by : Chris Stowers, Sinartus Sosrodjojo/JiwaFoto

Sadar atau tidak, ke manapun Anda pergi, pasti Anda menjumpai foto atau gambar (images) terpampang di sekeliling Anda. Katakanlah ; di koran atau majalah yang sedang Anda baca, di kalender yang sedang bertengger di cubicle meja kerja Anda, di situs-situs yang Anda jumpai di dunia maya, di poster-poster iklan yang Anda temui di jalan, bahkan di billboard atau sign board yang memenuhi jalanan Jakarta.

Disadari atau tidak pula, bahwa ada sebuah peluang bisnis dibalik foto-foto maupun images tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa foto atau images tersebut lahir dari tangan (kalau boleh saya sebut “mata”) para fotografer yang profesional di bidangnya. Namun ada satu lagi pihak yang berjasa memasarkan foto atau images tersebut ke client yang membutuhkan, yaitu photo agency.

Biasanya photo agency menyediakan 2 tipe jasa yaitu ; stok foto (image bank) dan assignment. Lewat photo agency, berbagai jenis stok foto dari para fotografer yang menjadi member di agensi foto tersebut, akan dipasarkan ke berbagai kepentingan, seperti media ; majalah, koran, media online, penerbitan, percetakan, periklanan dan desain, kepentingan komunikasi perusahaan ; annual report, brosur, company profile, website, greetings card, kampanye NGO maupun kampanye politik, dan lain sebagainya.

Hanya klien-klien tertentu saja yang menginginkan foto diambil secara eksklusif oleh fotografer tertentu melalui assignment, misalnya majalah A memberikan assignment kepada fotografer A untuk mengambil foto-foto tentang tsunami di Aceh, atau perusahaan B memberikan assignment kepada fotografer B untuk mengambil foto-foto tentang perusahaan mereka, guna kepentingan company profile, dll.

Penawaran yang diberikan oleh photo agency bisa berdasarkan royalty manage (one-time right, multiple right atau exclusive right) dan royalty free. Foto-foto yang dijual berdasarkan royalty manage harganya lebih mahal karena foto-foto tersebut lebih eksklusif dan copy right atau hak ciptanya terjaga. Sementara untuk foto-foto dengan sistem royalty free biasanya merupakan foto-foto dengan kualitas dua atau merupakan out-takes dari stok foto dengan system royalty manage. Maka tak heran jika Anda bisa membeli foto dengan harga hanya 1 US$ atau dengan harga ribuan dollar.

Koleksi foto yang dijual melalui agensi biasanya terdiri atas berbagai macam kategori dalam photo library untuk memudahkan pencarian, seperti ; culture, travel, people, economic, business, social, human interest, places, sport, art, entertainment, news, music, fashion, dan berbagai macam kategori detil lainnya.

Ada dua raksasa image bank atau stock photo agency yang menguasai pasar stok foto di dunia, yaitu Corbis dan Getty Image. Banyak agensi-agensi foto kecil yang bergabung atau dibeli oleh dua perusahaan ini untuk memperbesar atau memperbanyak koleksi stok foto mereka. Di Indonesia, tidak banyak yang menggeluti peluang bisnis ini.

Jika Anda membutuhkan foto-foto untuk keperluan bisnis Anda, kenapa tidak datang ke photo agency ?


* for Contents, a Jakarta lifestyle magazine



Thursday, February 01, 2007

PMS

PMS 1

(Pre Menstrual Syndrome)

Gerah. Mau marah. Manusia bodoh. Gendut. Paha bersayap. Jangan
ganggu-ganggu. Pengen disayang. Sebentar-sebentar kangen. Beli coklat. Tak
punya baju. Jerawatan. Awas dekat-dekat, cewek galak. Hidup hancur. Tidak ada
yang benar. Hate myself. Hate my fiancée. Tidur tidur tidur. Malas malas malas.
Sendal jepit. Jauh-jauh dari timbangan. Bad hair week. Mau nangis. Perut kriuk
kriuk. Centil. Kening berkerut-kerut. Tak berguna. Tolong dengarkan. Sendiri.
Sepi. Campur aduk. Belanja-belinji. Cekakak cekikik.
Cuci-cuci celana. Jangan
bantah. Pegal pegal. Pijet massage. Peluk peluk. Minum segentong. Ada lemak di mana-mana. Inget-inget masa kejayaan. Senyum-seyum sendiri. Masa lalu tak terlupakan. Si anu sukses. si una beruntung. Rambut ijuk. Looser. Lagu-lagu mellow,
film-film mellow, buku-buku mellow.
Kotex atau laurier ? Ngantuk. Berat. Jangan ngaret. Nggak pake mikir. Sewot. Jatuh cinta lagi. Salah sasaran. Gak dateng reunian. Kerjaan bertumpuk. He loves me, he loves me not. Karir melayang, cita-cita terbang. Lupakan saja ? Duh, kuliah lagi, menikah, atau pulang kampung ? Vitamin C. Nutrilite herbal. Mandi all day long. Biar bersih. Tapi kentut kentut. Kembung. Jangan pegang perut. Lihat kalender. Ingat-ingat bulan lalu. Telat seminggu ??!




PMS 2


(Pre Marital Syndrome)



Is he really the one ? Push up push up. Nabung. Nggak punya duit. Hapal

sodara-sodari, kakek nenek, buyut, nenek moyang calon suami (seorang

pelaut ?). Bisa jadi istri yang baik ? Ibu yang baik ? Jadi diri

sendiri aja bingung !
Ngelamun. Musyawarah mufakat. Temperamen tegangan
tingkat tinggi. Diet diet diet. Lulur, mangir, masker. Jamu jamu. Inget
inget wejangan ayah ibu. Sudah waktunya berbakti. Usai sudah parasit
lajang. Everyday is shopping. Check list. To do list. Pre.

Post.Starting. Bayangan pisah ranjang.
Bukan apa-apa, si dia tukang
ngorok. Harus beli sofa. Grogi. Bisa kompak gak ya dengan mertua ? Deg
degan.Terharu.
Serius. Jaga diri. Hiiiiii …takut ! Monoton. Banyak utang. Dunia
sempit. Fans kabur. Cleopatra syndrome. Oedipus complex. Electra
complex. Vitamin B complex. Bahagia ? Ingat perselingkuhan amatiran di
kantor. Ingat perselingkuhan professional di film. Pandang calon suami.
Jangan lupa tatap matanya. Baca baca istri sholehah.Naluri sok feminis
pun muncul. Inget cerita teman lama. Menikah dengan siapa, hati
berlabuh di mana. Buka buka buku akuntansi. Sesal di hati dapet nilai 6
di raport. Merasa jiwa tua. Teman A dapet suami kaya, nggak perlu
pusing. Sahabat B dimodali habis-habisan sama orang tuanya,
nggak
perlu puyeng. Rekan C, emang udah kaya dari sononya. Cinta ? Emang ada
? Pillih pilih, jangan sampai salah pilih ! Kumpul kumpul ama ibu-ibu.
Duh, berisik. Hampir lupa beli buku masak tingkat pemula.Buruan ke
pameran property. Ah, tak terbeli. Kos lagi ? Apa bedanya dengan masih
sendiri ? Pake adat mana. Di gedung. Di rumah. Maunya sederhana,
jadinya spektakuler. Cosmopolitan di tangan, kamasutra luar kepala.
Pengen melarikan diri, dari calon suami ? Sudah terlanjur. Janji
pemotretan. Dapet lokasi bagus. Masih ngaret. Telpon pake HP pacar.
Lhoo … foto siapa ??!!