Monday, March 05, 2007

Kembang Kempis Nafas Tanjidor


Photo by : Yusnirsyah Sirin/JiwaFoto


Ulang Tahun Jakarta barangkali adalah waktunya mengingat tradisi Betawi. Pemda DKI gencar mempromosikan kesenian dan kebudayaan asli Betawi sebagai aset pariwisata kota Jakarta dan media-media tak luput mengulas tradisi Ondel-ondel, Gambang Kromong, Lenong Betawi, Orkes Gambus, Topeng Betawi, Tanjidor dan kesenian tradisional lainnya.


Orkes tanjidor, adalah salah satu kesenian musik tradisional Betawi yang mendapat pengaruh dari kebudayaan China dan berbagai negara di Eropa seperti Belanda dan Perancis.
Orkes Tanjidor dipercaya sudah ada sejak abad ke-18. Ensiklopedi Sunda (Pustaka Jaya, Agustus 2000) menerangkan, Tanjidor sebagai salah satu jenis kesenian di Karawang dan Bekasi, mempergunakan instrumen musik terompet, trombone, klarinet, tambur dan sebuah bajidor (bedug). Biasa dipertunjukkan untuk mengiringi upacara pawai, mempelai atau anak khitan, kadang-kadang ngamen di saat Capgome. Lagu-lagu yang disajikannya, di antaranya lagu-lagu Betawi, sepetti Sirih Kuning, Jali-Jali, Dayung Sampai, Cente Manis, dan Surilang dengan tangga lagu diatonis atau salendro diatonis. Di dalam perkembangannya, tanjidor dilengkapi dengan instrumen siklopone dan sering dimainkan saat memperingati HUT Kemerdekaan RI (hal.647)

Salah satu grup tua tanjidor yang masih bertahan adalah Tiga Saudara. Bersama segelintir grup lainnya, Tiga Saudara masih bertahan di tengah arus perubahan Kota Jakarta. Berbagai usaha untuk bertahan tersebut bisa diartikan sebagai memadukan unsur musik dangdut dan pop ke dalam orkes mereka atau menghadirkan bintang tamu sinden-sinden muda agar “laku”. Pun mencoba mewariskan kesenian ini kepada generasi muda, yang tak pernah benar-benar tertarik dengan musik yang kian tersingkir oleh zaman dan sulit dipelajari ini.

Wajar saja jika tak tertarik. Orkes musik yang didominasi alat musik tiup ini menjadi tak karuan terdengar di telinga, karena musisi peniupnya sudah berusia lanjut. Seperti pemimpin grup tanjidor Tiga Saudara yang juga peniup terompet tenor, Sait (58) atau Haji Kumat sang peniup terompet piston yang bahkan sudah berusia 84 tahun. Walaupun berusia renta, mereka tetap setia memainkan orkes tanjidor untuk menghibur penonton di pinggiran Jakarta dan sangat bersemangat mengajarkan di bawah panggung jika ada anak-anak yang ingin tahu.
Pipi mereka yang keriput kembang kempis memainkan orkes tanjidor, sama seperti hati yang kembang kempis akan kekhawatiran masa depan musik ini. Sudah saatnya ada yang bertanggung jawab agar tanjidor tidak hanya akan menjadi sebuah catatan sejarah.

*for Contents, a Jakarta lifestyle magazine

No comments: