Friday, January 12, 2007

Monsieur Ibrahim (Resensi Film)

“ Apa yang kau beri, Momo, akan menjadi milikmu selamanya. Apa yang kau terima, akan hilang entah ke mana.”

Penerapan Islam di negara-negara non Islam selalu saja menarik perhatian, dikarenakan keingintahuan akan persepsi yang mungkin saja berbeda. Demikian pula yang terjadi di Perancis sekian tahun silam, rasanya film Monsieur Ibrahim sedikit banyak membukakan mata untuk lebih bisa menerima religiusitas ketimbang agama (berkaitan dengan pelarangan mengenakan jilbab di Perancis).
Persahabatan lintas budaya dan agama antara Monsieur Ibrahim, seorang pemilik toko kelontong di Blue Street, Paris, dengan seorang anak laki berusia 16 tahun, Moses, memiliki makna yang sedemikian dalam akan kehidupan.


Hidup sebagai orang Arab di tengah negara yang senang meng-underestimate-kan Islam, bukanlah perkara yang gampang. Kehadiran mereka bak debu yang tak kasat mata.

Memasuki usia pubertas, Moses yang tinggal di dekat daerah prostitusi terobsesi untuk “mencicipi” kenikmatan dunia dengan salah satu PSK, sebagai penanda kedewasaan seorang laki-laki. Tinggal sendiri dengan ayah yang single parent, membuat Momo merasa kesepian, ditambah dengan kebiasaan Ayahnya membandingkan Momo dengan Paulie, kakak Momo yang tinggal bersama ibunya (yang sebenarnya tak ada dan hanya merupakan perwujudan dari ego orang tua).

Dengan hasil celengan yang dikumpulkan sejak ulang tahunnya yang ke-6, Momo memberanikan diri untuk “membeli” pengalaman seks pertama, sempat sebelumnya menukar uang receh tersebut ke toko kelontong milik Tuan Ibrahim, dan sempat pula mencuri sejumlah makanan untuk makan malam.
Walaupun tahu, Ibrahim sama sekali tidak marah, malah memperbolehkan Momo mencuri sesukanya di toko tersebut, asal jangan di tempat lain. Juga seraya berkata, “ Aku bukan orang Arab, Momo.”

Dengan penasaran Momo bertanya pada ayahnya, apakah manusia bisa memiliki akses untuk membaca apa yang dipikirkan orang lain ? Ketertarikan ini membuat Momo selalu kembali ke toko Ibrahim, dan mencoba mengajak ngobrol tentang apa saja tentang hidup. Dan Ibrahim selalu menjawabnya dengan kata-kata bijak, sambil tak lupa menyebutkan, bahwa semuanya tertera di dalam Al Qur’an-ku.

Masa pubertas Momo pun diisi dengan kisahnya jatuh cinta dengan gadis tetangga, yang kemudian menghianatinya. Petualangan seks-nya dengan hampir semua pelacur di jalan itu, sampir yang memberikan servis gratis karena sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Hubungan yang aneh memang. Justru lebih dekat dibanding dengan keluarganya sendiri.

Persahabatan Momo dan Ibrahim berjalan dengan manis, di saat-saat mereka berjalan-jalan keliling kota, membeli sepatu baru, ketertarikan Momo mempelajari Al Qur’an, memuncak ketika ayah Momo memutuskan untuk meninggalkan Momo dan bunuh diri di rel kereta api setelah dipecat dari kantor.

Setelah melalui proses panjang dan berliku, juga berkali-kali ditolak, akhirnya Ibrahim berhasil mengadopsi Momo sebagai anaknya, membeli mobil mewah dan pulang ke kampung halamannya, Turki. Dalam perjalanan mereka, Momo diperkenalkan dengan beberapa agama dan cara-cara mereka beribadah kepada Tuhan. Menjelaskan keindahan dan kedamaian akan karunia Tuhan, tanpa mempersoalkan agama apa yang mereka peluk. Akhir perjalanan ditutup dengan meninggalnya Ibrahim, dengan perasaan damai telah berpulang, dan menemukan apa yang dia cari selama ini sebenarnya ada di dalam Al Qur’an, meninggalkan Momo dengan perasaan sedih, karena rasa sayangnya kepada Ibrahim, sebagai seseorang yang dianggapnya melebihi keluarganya yang tak pernah benar-benar ada itu.

Siapa tak kenal Omar Sharif, aktor legendaris Hollywood yang berasal dari negeri Mesir, yang mencapai masa jayanya di tahun 1960an. Lewat film Lawrence of Arabia, Doctor Zhivago atau trilogy Passage to India merupakan debut suksesnya di Hollywood. Mendapat anugerah Lifetime Achievement Award pada Venice Film Festival 2003. Setelah sekian lama tak muncul di dunia perfilman, Omar datang dengan Monsieur Ibrahim yang diadaptasi dari novel Eric-Emmanuel Schmitt. Momo yang diperankan Pierre Boulanger, cukup sukses menampilkan seorang anak lelaki Perancis kebanyakan, namun menjadi tidak biasa ketika bertemu dengan Ibrahim.

Dan Monsieur Ibrahim pun kemudian merupakan salah satu film favorit Jiffest 2004.

2 comments:

AndoRyu said...

Mungkin lupa ditulis kalau Momo alias Moise Schmidt itu remaja yahudi. Ayah Momo memanggil tuan Ibrahim si orang Turki dengan panggilan si Arab (Bagi ayah Momo yg orang yahudi, Islam adalah agama orang arab).
Justru hal ini membuat konflik semakin menarik. Karena setting cerita berlangsung pada tahun 1960-an, ketika depresi ekonomi sedang melanda eropa. Pada saat itu, bule perancis memandang imigran (termasuk arab, turki dan yahudi) mulai merongrong hak orang pribumi perancis.

Ada film bentrokan budaya, agama, dan masalah imigran lain yg berjudul "Le Grand Voyage" juga menarik untuk ditonton.

NB. Omar Sharif meraih gelar aktor terbaik dalam ajang Cesar Award (Oscar-nya Perancis) dengan peran si tuan Ibrahim ini.

d'goin over said...

sebelumnya salam kenal mba...

mau nambahin juga klo film monsieur ibrahim ini dibuatkan filmnya berdasarkan cerpen dengan judul yg sama. :)

http://dhila13.wordpress.com