Thursday, October 25, 2007

Kesetiaan pada Sejarah


Usia Abdul Gani memang sudah cukup tua, 76 tahun, namun masih memiliki ingatan yang cukup tajam. Sambil sesekali bercanda, ia menjelaskan isi dari beberapa buku yang ia jual di kios 147 pasar barang antik di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Perawakannya kecil dan seluruh rambutnya telah memutih. Tampak penjual sekitar menaruh hormat dan segan padanya. Ini juga dikarenakan Abdul Gani adalah orang tertua dan paling lama berjualan di pasar tersebut.

Dalam usianya itu Abdul Gani tidak memutuskan untuk pensiun dan menikmati hari tua, namun tetap setia menjalankan bisnis kamera antik dan buku-buku tua, yang sudah digelutinya sejak tahun 1974. Toko Abdul Gani adalah satu-satunya toko yang menjual buku-buku langka di pasar barang antik Jalan Surabaya. “Sukarno in Autobiography as told by Cindy Adams” (1965), “Di Bawah Bendera Revolusi” jilid 1 (1963) dan “Di Bawah Bendera Revolusi” jilid 2 (1964) adalah sebagian dari buku sejarah legendaris koleksinya.

Kecintaan Abdul Gani terhadap buku dimulai sejak tahun 1955, ketika pindah ke Jakarta dari kota kelahirannya Tangerang untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Teknik Pertama (setara dengan SMP). Buku-buku dongeng, sejarah, ilmu bumi dan bahasa daerah adalah jenis buku yang dia baca pada waktu itu. “Sejarah Tanah Jawa” dan, “Tarich Atjeh dan Nusantara” merupakan dua dari sekian buku favoritnya.

Satu kertas yang lapuk, mungkin bisa menyelamatkan sebuah negeri”, demikian nasehatnya. Pernyataan itu pula yang menjadi alasan kenapa dia gemar mengoleksi buku-buku langka. Buku-buku yang dijual di tokonya memang bervariasi dan kuno, seperti buku sejarah dan kebudayaan Jawa, sastra Jawa, sejarah Indonesia, pahlawan daerah, dan masih banyak lainnya. Untuk buku-buku hukum, buku koleksinya merupakan terbitan mulai tahun 1849 sampai 1920-an dan kebanyakan berbahasa Belanda. Sebisa mungkin dia hanya menerima buku-buku di bawah tahun 1950 dari pemasok buku. Tapi tak jarang dia menerima pasokan buku “baru” karena kasihan dan ingin membantu sesama penjual. Dengan sedikit berbisik ia mengatakan “Kasian kalau tidak dibeli, saling bantu lah,” sambil menerima beberapa buah majalah dan menyelipkan sejumlah uang ke kantong seorang lelaki tua yang datang mengendarai sepeda ontel.

Ketekunan Abdul Gani mengumpulkan buku-buku lawas dan langka membuat lelaki beranak sepuluh ini cukup dikenal oleh masyarakat; wartawan dan mahasiswa pernah datang untuk mencari ide atau mencari data untuk tulisan mereka, koleksi buku-bukunya pun pernah menjadi latar belakang syuting sebuah film berjudul Lentera Merah. Museum Fatahillah juga pernah menyewa 400 buku koleksi Abdul Gani untuk keperluan syuting film.

Ketika ditanya mengenai pelanggan, Abdul Gani menceritakan bahwa dia sangat senang sekali jika pembeli buku-bukunya adalah orang Indonesia, bukan bule. “Kalau yang membeli buku-buku Bapak adalah orang Indonesia, Bapak senang sekali karena mereka masih perduli dengan sejarah bangsa sendiri. Bapak tak heran jika yang mendatangi atau membeli buku Bapak orang bule, Bapak tahu mereka memang kagum dengan sejarah dan kebudayaan kita sejak dulu. Menurutnya, sejumlah pelanggan berkewarganegaraan Malaysia, Thailand, Korea, Amerika, Perancis dan Belanda sering mencari buku lawas di tokonya.

Seorang reporter dari sebuah stasiun televisi swasta pernah menanyakan kenapa dia tidak menyumbangkan saja buku-buku tersebut untuk perpustakaan nasional. Lelaki sederhana ini pun menjawab "Bapak tidak yakin buku-buku tersebut dijaga. Bisa hilang. Banyak kejadian begitu, kan?"

Kesetiaan Abdul Gani terhadap sejarah tak sebatas pada koleksi buku-buku tua yang dijualnya. Ia juga memiliki koleksi foto-foto Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, foto pahlawan, dan juga gemar filateli. Dua buah peta Batavia yang dibuat pada tahun 1750 dan 1790 yang dimilikinya jelas merupakan peninggalan sejarah berharga. Prinsipnya, jika ia hanya memiliki satu buah saja untuk satu judul buku, ia memilih untuk menyimpannya dalam perpustakaan pribadi di rumahnya.

“Sejarawan” seperti Abdul Gani memang merupakan “sejarah tersendiri” di antara sekian juta rakyat Indonesia, yang sepertinya semakin tidak perduli lagi dengan sejarah dan identitas bangsa, terutama generasi muda yang kian tenggelam dalam keduniawian. Sebagai “rakyat biasa”, kesetiaannya pada sejarah patut diteladani.

Satu hal yang menjadi kekhawatirannya, tak ada satupun dari anaknya yang memiliki kecintaan terhadap buku dan sejarah seperti dirinya. Wajahnya tampak sedikit murung ketika ia menjelaskan kekhawatirannya itu. Satu-satunya harapan terletak pada anak bungsunya, Suhada, yang masih kuliah di sebuah sekolah tinggi seni di Bandung. Dalam kesehariannya menjaga toko, Abdul Gani dibantu seorang keponakan.

Buat Bapak, walau sudah tua tapi jika masih berguna buat orang lain, Bapak tidak mau diam saja di rumah,” ujarnya dengan senyum yang kembali mengembang.

Teks oleh: Sri Dewi Susanty
Foto oleh: Toto Santiko Budi

(http://totopicture.smugmug.com/gallery/3301108#183430683)