Wednesday, August 15, 2007

Travelogue: Kanise, Tersibaknya sebuah Warisan Budaya Dunia




Awalnya saya beringsut-ingsut ketika atasan tanpa konfirmasi mengganti jadwal kunjungan lapangan saya dipercepat 3 hari dan menjadi lebih lama dari rencana sebelumnya. Siapa yang betah berlama-lama tinggal di daerah terpencil di mana listrik, air dan sinyal HP dalam keadaan hidup segan mati tak mau. Namun, ketika saya coba untuk menikmatinya dengan berlagak turis, suasana hati menjadi menyenangkan.

Setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih 1,5 jam dari Banda Aceh menuju Gunung Sitoli melalui Meulaboh, dan 3 jam perjalanan dengan mobil, sampailah saya dan rekan kerja ke Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan (Kanise). Bosan beristirahat di hotel selama 1 jam, sayapun menerima ajakan rekan kerja menikmati pantai Sorake yang terkenal sebagai surga surfing dunia. Langit pantai Sorake memang biru jernih dengan sinar mataharinya yang cukup ramah di kulit, namun sayang, sejak gempa beberapa tahun silam, telah menyebabkan naiknya permukaan daratan dan pantai pun menjadi jauh menjorok ke dalam.

Hanya terlihat dua orang asing yang sedang berjalan kaki, losmen dan cottage yang sepi, seorang penjual barang kerajinan yang menyusuri pantai mencoba menemukan calon pembeli, dan pembuat perahu dayung yang sedang mengerjakan pesanan perahu bantuan dari sebuah LSM internasional.

Karena tidak bisa menikmati sunset di pantai ini, kamipun beranjak pulang dan memutuskan untuk menghabiskan sore di sebuah Kampung Megalitikum bernama Botohili. Karena terletak di dataran tinggi, jalan menuju kampung ini melewati beberapa tanjakan dan berakhir di sebuah susunan anak tangga batu tua, yang di sisi kiri dan kanannya terdapat hiasan patung naga khas budaya Nias. Sama layaknya dengan masyarakat lain yang sedikit merasa “terganggu” dengan kedatangan sesuatu yang asing, masyarakat di kampung inipun demikian. Namun Anda akan mendapatkan senyuman yang lebar dan sambutan yang tulus, ketika kebekuan itu Anda cairkan dengan ucapan “Yaahowu” yang berarti “Salam”, sama seperti “Horas” pada suku Batak dan “Assalamualaikum” pada umat muslim.

Pemandangan yang tersibak di balik anak tangga terakhir sungguh luar biasa. Sebuah perkampungan dengan susunan rumah-rumah adat Nias Selatan di sepanjang kiri dan kanan, kira-kira sebanyak 100-150 rumah. Rumah-rumah panggung ini terbuat dari kayu, dengan tiang pancang di bawahnya yang berbentuk silang, dirancang sebagai penahan gempa dan tak satupun dari bangunan-bangunan kayu ini menggunakan paku! Karena merupakan pulau rawan gempa, sejak dulu masyarakat Nias telah berfikiran maju untuk merancang konstruksi rumah yang tahan terhadap gempa. Itulah sebabnya pula gempa tahun 2005 silam “hanya berhasil” merusak kontruksi bangunan atau gedung modern.



Suasana perkampungan tampak damai, dengan anak-anak yang sibuk bermain, berolah raga, mengambil air dari sumber air, ibu-ibu yang sibuk dengan jemuran pakaiannya, bapak-bapak yang berkumpul di balai-balai, seorang pemuda yang ramah (dan juga mengejutkan dengan melakukan atraksi lompat batu dengan spontanitas) menjelaskan tentang kampungnya dan pemandangan pantai yang dapat Anda nikmati dengan indah dari atas bukit tersebut. Sayapun sempat berpose bersama anak-anak Nias yang lincah namun tampak malu-malu (dan sangat senang) untuk difoto.

Teluk Dalam hanya merupakan sebuah kota kecil dan akan habis Anda lalui dalam waktu 15 menit saja. Namun sungguh, Kanise menyimpan banyak sekali warisan budaya tradisional yang sangat penting untuk dilestarikan. Badan Pendidikan dan Budaya Dunia UNESCO telah menetapkan satu-satunya rumah adat bangsawan Nias Selatan yang masih tersisa di Bawomataluo sebagai warisan budaya dunia.

Dan … Anda tidak akan menyesal telah menyempatkan diri ke sana!